Minggu, 20 Mei 2012

Sepatu Butut Mengajarkan Aku Arti Perjuangan Hidup

Pengalaman Pribadi :
Oleh Eko Hartono

Bicara soal sepatu, aku jadi ingat masa sekolah dulu. Pada tahun 1983, saat masih SMP, aku punya sepasang sepatu warna hitam. Tidak seperti Pak Dahlan Iskan yang dari SD, SMP, hingga SMA tak punya sepatu. Aku sendiri juga bukan dari keluarga berada, tapi bersyukur orang tua masih bisa membelikan sepatu. Namun tidak seperti anak zaman sekarang, setiap pergantian semester sudah ganti sepatu atau paling tidak setahun sekali. Aku hanya punya satu-satunya sepatu yang tak pernah ganti selama 3 tahun!

Bisa dibayangkan, bagaimana kondisi sepatu itu? Belum ada setahun dipakai, kondisinya sudah berubah. Warnanya yang hitam berubah kusam, alasnya menipis, kulit sepatu yang terbuat dari kain terburai jahitannya, bahkan pada ujungnya berlobang, memperlihatkan jempol kaki. Pernah karena talinya putus, terpaksa aku menggantinya dengan tali rafia! Agar warnanya tidak kusam, aku menggosoknya dengan arang sebagai pengganti semir!

Kenapa aku tetap bertahan memakai sepatu itu? Bukan karena aku mencintainya, tapi karena keadaan. Orang tua tidak mampu membelikan yang baru. Dalam hati aku sebenarnya pengen dibelikan yang baru, tapi apa mau dikata, aku mesti memahami keadaan orang tua. Aku masih punya tiga orang adik yang membutuhkan perhatian juga. Mau tak mau aku mesti ‘mencintai’ sepatu itu!

Karena sepatu itu setia menemaniku selama tiga tahun lamanya, sehingga ia sudah menjadi bagian dari hidupku. Keberadaannya tak bisa dipisahkan dari aktivitasku belajar di sekolah. Berbagai suka duka telah kulewati bersama sepatu itu. Tapi ada satu yang amat berkesan dan sampai sekarang terbayang dalam benakku. Saat kelas 2 SMP, guru Bahasa Indonesia meminta murid-murid menulis puisi dengan tema lingkungan sekitar.

Entah kenapa, secara spontan aku menuliskan perasaanku tentang sepatu itu. Sayang, aku kehilangan teks aslinya. Tapi aku masih ingat betul bagaimana isi puisi tersebut. Dengan bahasa yang jujur aku mengungkapkan keadaan sepatu itu. Aku tuliskan bahwa sepatu itu sudah butut, warnanya kusam, jempol kaki mengintip dari balik lubang, alasnya yang tipis seperti tak memakai sepatu sehingga menginjak kerikil pun terasa di kulit. Meski demikian aku menganggap sepatu itu pahlawan karena membantuku menuntut ilmu!

Tiba-tiba Pak Guru memintaku maju ke depan untuk membacakan puisi karyaku. Tentu saja aku jadi gugup dan tegang. Kupikir Pak Guru marah dan menganggap aku main-main menulis puisi yang isinya tidak puitis. Bahkan teman-temanku pada tertawa selesai aku membacakan puisiku. Mungkin mereka menganggap lucu isi puisiku. Tapi tidak demikian dengan Pak Guru. Beliau malah memujiku dan memberi nilai 10 atas puisi itu!

Pak Guru lalu menerangkan bahwa puisi yang baik adalah puisi yang ditulis dengan penuh penjiwaan atau penghayatan atas pengalaman hidup si penulis. Pak Guru memberi motivasi kepadaku agar memupuk kemampuanku dalam menulis, karena beliau melihat aku berbakat menjadi pengarang. Pujian dan dorongan semangat dari Pak Guru itulah yang secara tidak langsung ikut berperan dalam karirku kemudian hari di bidang kepenulisan.

Sudah duapuluh tahun lebih aku menekuni dunia kepenulisan, meski tidak tergolong penulis ternama, tapi setidaknya dari kegiatan menulis aku bisa hidup mandiri dan mampu menghidupi keluarga. Pengalamanku di masa lalu dengan sepatu butut itu secara tidak langsung ikut membentuk kepribadianku. Karena sepatu butut itu telah mengajarkan aku untuk menghargai nilai sebuah benda dan memahami arti perjuangan hidup! (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar