Selasa, 16 Agustus 2011

Makna Taqwa Yang Sebenarnya

Ketika seseorang bertanya kepada Abu Hurairah radhiallahu'anhu tentang makna takwa, Abu Hurairah kemudian bertanya kepada orang tersebut, Apakah engkau pernah melewati jalan yang berduri? Ia menjawab, Ya pernah. Abu Hurairah bertanya lagi, Apa yang engkau lakukan, Ia menjawab, Jika aku melihat duri maka aku menghindar darinya, atau melangkahinya, atau mundur darinya, Abu Hurairah berkata, Seperti itulah takwa! Duri itu adalah perumpamaan dari kemaksiatan atau hal-hal yang dilarang agama. Jika kita mengaku diri bertakwa kepada Allah dan Rasul, maka kita harus melangkahi, menghindar, atau mundur bila dihadapkan kesempatan untuk berbuat dosa.

Bukanlah seorang muslim dikatakan bertakwa jika dia sengaja menerjang rambu-rambu syariat, mengerjakan apa-apa yang diharamkan oleh Allah atau meninggalkan apa-apa yang diperintahkan-Nya. Kemudian kita juga harus takut karena kita tidak tahu kapan ajal akan menjemput! Kita jangan beranggapan bahwa mati hanya menimpa pada orang yang sudah tua, orang sakit, atau orang lemah sehingga kita –khususnya orang-orang muda-- menunda-nunda untuk mengerjakan amal shalih. Kita berpikir mengerjakan ibadah nanti saja kalau sudah tua. Padahal kalau kita amati disekitar kita, banyak kejadian dan musibah yang menimpa orang-orang muda dan anak-anak. Mereka mati dalam keadaan muda. Bagi yang sudah akil baliq menurut hukum agama sudah dihitung atau dicatat amal dan perbuatannya. Jika mereka tidak mengerjakan syariat agama seperti yang dituntunkan Allah dan Rasul tentu bila mati akan mendapat hisab yang pedih di akherat. Mereka tidak memiliki timbangan amal ibadah!

Berhati-hatilah kita dalam menjalankan aktivitas hidup di dunia. Senantiasa kita jaga iman dan ketakwaan kita kepada Allah Azza Wajala. Janganlah kita meremehkan dosa-dosa, sekecil apa pun, agar kita tidak seperti yang digambarkan dalam ayat dan hadits di atas, semoga Allah menjadikan kita, termasuk yang diseru dalam firman-Nya di surah Al Fajr ayat 27 – 30 : Hai jiwa yang tenang, Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya, Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, Maka masuklah ke dalam Surga-Ku.

Allah telah memberi peringatan kepada kita agar jangan berbuat maksiat, jangan berbuat dosa. Jika kita taat kepada Allah niscaya Allah akan melipatgandakan pahala kepada kita dan memberi kita tempat di Surga kelak. Allah juga melimpahkan hidayah dan rahmat-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang mau bertobat. Sebab, rahmat Allah seluas langit dan bumi. Kasih sayang Allah melimpahi seluruh makhluk di muka bumi. Sebesar dan sebanyak apa pun dosa-dosa kita bila kita benar-benar mau bertobat dan menjalankan syariat agama, niscaya dosa kita akan diampuni.

Sebaliknya, bila kita sudah bertobat nasuha tapi kemudian melakukan maksiat atau perbuatan dosa lagi, maka sama halnya kita mempermainkan agama dan dianggap murtad. Seperti yang tercantum dalam surah An-Nahl ayat 106 yang terjemahannya sebagai berikut: Barang siapa yang kafir sesudah dia beriman (dia akan mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.

Maksud dari ayat ini adalah bahwa jika kita sudah beriman atau menjadi mukmin, maka jangan sekali-kali kita jatuh kembali kepada perbuatan kafir yang menghalalkan kemaksiatan dan perbuatan dosa. Sebab, Allah tak akan mengampuni dosa orang yang suka berbuat demikian, yakni menggunakan agama hanya sebagai simbol belaka. Mereka mengaku beriman tapi juga masih melakukan perbuatan maksiat. Ini yang dikatakan oleh Allah dan Rasul-Nya sebagai memperolok-olok agama, mempermainkan agama. Allah paling benci kepada manusia yang suka mempermainkan agama.

Dalam surah Al Hajj ayat 11 disebutkan : Dan diantara manusia ada orang yang menyembah dengan berada di tepi, maka jika ia memperoleh kebaikan tetaplah ia dalam keadaan itu (beriman), dan jika ia ditimpa suatu bencana (kesusahan) berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akherat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata. Maksud dari berada di tepi adalah tidak penuh keyakinan. Jadi dia menyembah Allah tidak dengan penuh kesungguhan. Dia mau beriman bila Allah memberinya kebaikan pada hidupnya seperti mendapat harta, jabatan, dan kedudukan. Tapi sebaliknya, ketika ditimpa kesusahan atau musibah dia kembali mengingkari Allah. Dia menyembah Allah hanya untuk mendapatkan kesenangan dunia semata. Padahal kesenangan dunia hanya sementara.

Bagi Allah, orang-orang seperti ini, beriman hanya karena mengharap kepada kesenangan dunia, maka hanya dunia yang didapatkannya sedang di akherat surga tidak akan didapatkan. Sebab, untuk mendapatkan surga, maka kesabaran dalam keimanan dan ketakwaanlah yang dibutuhkan, meskipun dalam keadaan kesulitan atau kesempitan seperti yang tercantum dalam Surat An-Nahl ayat 110: Dan sesungguhnya Tuhanmu (pelindung) bagi orang-orang yang berhijrah sesudah menderita cobaan, kemudian mereka berjihad dan sabar…

Demikian, semoga kita jadikan sabar dan takwa sebagai tongkat penuntun hidup kita dalam menjalankan Sunnah Allah dan Sunnah Nabi.