Kamis, 29 Desember 2011

Mendapatkan Penghasilan Dari Website


Dunia internet tidak hanya memberikan conten berita dan hiburan, tapi juga bisa memberikan penghasilan bagi yang hobi menulis. Berikut ini beberapa situs atau website yang memberikan penghasilan untuk penulis, diantaranya adalah:

1. Shvoong

www.Shvoong.com merupakan situs yang fokus pada ringkasan atau review berbagai sumber pemikiran manusia, baik itu berupa buku, artikel, majalah, musik, lagu, novel, film, dan lain sebagainya. Menyediakan kesempatan untuk penulis dalam 34 bahasa, dan Anda dibayar. Selain menulis, Anda juga dibayar untuk menerjemahkan tulisan. Namun, pembayaran itu hanya muncul apabila ada pembaca yang membaca tulisan Anda. Jadi, penghasilan datang dari jumlah pengunjung yang datang membaca artikel. Semakin menarik dan bermanfaat artikel Anda, maka semakin banyak pembaca yang berkunjung maka semakin besar dolar yang bisa diperoleh.

2. Triond

www.Triond.com merupakan situs yang menyediakan lahan mengekspresikan diri sebebas-bebasnya bagi seorang penulis. Seperti blog, Cuma bedanya di sini artikel, cerpen, puisi, atau apapun yang Anda tulis dan dibaca pengunjung akan dihargai dolar. Dan bahasa yang digunakan adalah bahasa Inggris saja.

3. Fixya

www.fixya.com merupakan situs yang berisi solusi untuk menyelesaikan berbagai masalah. Sebagai pemberi solusi, biasanya solusi Anda tersebut akan dihargai dengan penghasilan tertentu. semakin banyak solusi yang mampu Anda berikan dari berbagai permasalahan yang ada di kotak masalah, dan semakin banyak orang yang merasa terbantu, Anda akan mendapatkan penghasilan.

4. Pabrik Artikel

www.pabrikartikel.com, merupakan situs yang menjual artikel-artikel berkualitas dalam bahasa indonesia yang sifatnya berbentuk pesanan. Pengelola akan merekrut penulis, penulis ini bekerja dan mendapatkan penghasilan dari tiap artikel yang berhasil diselesaikan sesuai batas waktu yang diberikan pengelola Pabrik Artikel.

5. Day Tipper

www.daytipper.com merupakan situs berbahasa Inggris yang menyuguhkan tips-tips praktis bagi pengunjungnya. Si pemberi tips akan mendapatkan bayaran apabila tipsnya dipublikasikan dan dikunjungi pembaca.

Rabu, 28 Desember 2011

Rumah Allah

Cerpen ini dimuat di Majalah Al Mar'ah
Edisi November 2011

Masjid ini makin sepi setelah ramadhan lewat. Barisan shaf tidak sepanjang dan sebanyak saat ramadhan. Bisa dihitung dengan jari tangan, siapa saja yang masih setia mengunjungi rumah Allah di kala azan dikumandangkan. Shalat fardlu yang semestinya wajib dilaksanakan oleh kaum laki-laki di masjid bukan lagi dianggap sebagai keharusan.

Padahal Rasulullah pernah bersabda barangsiapa yang tidak melaksanakan sholat jamaah di masjid suruh membakar rumahnya. Tapi siapa yang peduli pada seruan nabi? Orang-orang zaman sekarang lebih peduli pada sabda setan. Lihatlah, berhala-berhala duniawi telah merasuk ke dalam jiwa manusia, membuat mereka lalai dan lupa. Kesibukan dunia telah menyesatkan mereka kepada jalan kebenaran yang harus ditempuh.

Di masjid ini tinggal para orangtua yang mengisi barisan shaf. Para orangtua yang sudah sepuh-sepuh itu pun seakan menjadi perlambang dekatnya dengan kematian. Maka, tidak menjadi aneh bila mereka lebih banyak menghabiskan waktu berserah diri kepada Tuhan. Mereka menyadari banyaknya dosa telah diperbuat sepanjang usia yang dijalani. Namun tidak semua orang yang sudah tua tergerak hatinya untuk mengingat Allah. Masih banyak orang-orang tua tenggelam dalam kesibukan dunia.

Mbah Raji, Mbah Sutino, Mbah Bayan, dan Mbah Santo masih tercatat sebagai pengunjung setia masjid ini. Sebelumnya ada Mbah Marto yang telah mendahului pergi dua minggu lalu. Penyakit stroke telah menghantar Mbah Marto ke pangkuan-Nya. Mungkin tak lama lagi, satu persatu dari mereka menyusul. Tapi bagi mereka kematian itu sudah menjadi kepastian yang tak bisa diingkari. Mereka malah rindu datangnya kematian. Karena hal itu berarti perjumpaan dengan Sang Khalik yang mereka cintai!

Maka, jika ada salah seorang dari empat sekawan itu tak kelihatan datang ke masjid, hati mereka gundah dan bertanya-tanya. Mereka khawatir jangan-jangan si kawan telah hilang kesabaran dan keistiqomahannya sehingga lupa akan kewajibannya berta’aruf dengan Dzat Tertinggi. Mungkin dia telah berputus-asa tidak akan mendapat rahmat dari Tuhan-nya. Atau mungkin dia dianugerahi sakit sehingga tak mampu pergi ke masjid? Rasa cemburu mereka menjadi membara.

Meski menganiaya diri sendiri dilarang agama, mengharap kepada takdir buruk seperti kematian juga tidak diperbolehkan, namun sebuah kerinduan dalam yang tak mampu ditahan bila mereka ingin segera bertemu dengan Allah yang dicintai. Maka, hanya melalui jalan sakit lalu disusul kematian mereka bisa mewujudkan keinginan itu. Namun demikian bukan berarti mereka lalu berupaya atau mencari jalan sendiri agar sakit dan kematian itu datang. Hal itu amatlah berdosa. Mereka tetap mengharapkan kebaikan pada hidup mereka di dunia.
“Mbah Santo ke mana? Ada yang tahu kenapa dia tidak datang sholat berjamaah di masjid?” tanya Mbah Raji usai sholat Maghrib kepada kedua rekannya.

Mbah Bayan dan Mbah Sutino saling pandang. Mereka menggeleng lesu.

“Tadi waktu asar dia masih ikut sholat dengan kita,” kata Mbah Bayan.

“Mungkin dia sakit?” cetus Mbah Sutino.

“Sakit apa? Tadi sore dia masih sehat. Badannya kelihatan bugar?” tukas Mbah Raji.

“Dia pernah mengeluh lambungnya sakit. Mungkin maagnya kambuh.”

“Kalau cuma maag kambuh apa sampai membuatnya lumpuh tidak bisa berjalan ke masjid?”

“Aku dengar anak-anaknya tiba dari kota…?”

“Kalau anak-anaknya datang, itu bukan halangan dia datang ke masjid.”

“Dia terlalu asyik bercengkerama dengan anak dan cucunya, sehingga lupa atau tidak mendengar seruan azan?”

“Bohong kalau dia tidak mendengar seruan azan. Loudspeaker masjid ini bisa menjangkau ke kampung sebelah. Rumah Mbah Santo hanya berjarak seratus meter dari masjid. Jika dia tidak melihat jam seharusnya dia tahu bila waktu maghrib saat matahari tenggelam dan suasana langit remang-remang!”

“Kita tidak boleh bersu’uzon dulu, sebaiknya kita sambangi dia. Siapa tahu, dia benar-benar sakit?”

Mereka sepakat akan mengunjungi Mbah Santo di rumahnya. Mereka khawatir telah terjadi sesuatu pada laki-laki tua itu.

Ketika mereka tiba di rumah Mbah Santo terlihat suasana semarak di dalam. Ternyata anak-anak dan cucu Mbah Santo sedang berkumpul. Entah, ada acara apa mereka tiba-tiba bersamaan mengunjungi sang ayah. Padahal Mbah Santo sering mengeluh, semua anaknya yang sudah berumahtangga dan tinggal di kota jarang menengoknya sekalipun lebaran. Mbah Santo rindu bisa bertemu anak-anak dan cucu. Apalagi setelah istri yang setia mendampingi selama tigapuluh tahun telah lama berpulang.

Doa dan harapan Mbah Santo terkabul. Keempat anaknya bersama keluarga masing-masing datang mengunjunginya. Meski kedatangan mereka tidak pas hari idul fitri, namun cukup membuatnya bahagia. Mungkinkah karena terlalu larut dalam kesenangan berkumpul bersama anak dan cucu tercinta sehingga ia lalai ke masjid? Ternyata tidak! Ketika sahabat-sahabatnya datang, mBah Santo menyambut mereka dengan wajah tampak muram dan tidak bersemangat.

“Kenapa sampean tidak datang lagi ke masjid, Mbah? Apa sampean terlalu asyik bercengkerama dengan cucu-cucu tercinta?” tanya Mbah Raji.

“Bukan itu sebabnya, Mbah Raji. Aku tak bisa datang ke masjid, karena anak-anakku melarang,” jawab Mbah Santo dengan lesu.

“Mengapa anak-anakmu melarang?” tanya Mbah Bayan tak mengerti.

“Mereka khawatir nanti encokku kumat lagi. Aku bisa jatuh di jalan bila pergi ke masjid. Mereka menyuruh aku sholat di rumah saja. Aku dianggap sudah sangat tua dan harus banyak beristirahat. Mereka tidak ingin terjadi apa-apa pada diriku…”

“Segala urusan ada di tangan Allah. Apakah sampean berpikir, jika berada di rumah hidup sampean akan selamat? Tidakkah sampean berpikir, berapa besar pahala yang bisa sampean dapatkan bila sholat berjamaah di masjid? Yang lebih dibutuhkan sampean sebenarnya keselamatan di akherat, bukan keselamatan di dunia. Kehidupan dunia fana jangan dijadikan gantungan!” tegas Mbah Sutino.

“Hal ini sebenarnya muncul dari rasa kecintaan mereka kepadaku. Mereka masih mengharapkan aku tetap sehat dan terjaga di usia tua ini. Mereka ingin aku bisa panjang umur dan tidak sakit-sakitan. Mereka menyesal telah lama mengabaikan aku. Mereka baru menyadari kalau orangtua yang tinggal satu-satunya ini mesti dijaga dan dirawat dengan baik. Kesadaran mereka itulah yang membuatku merasa terharu. Aku tak ingin mengecewakan mereka…”

“Kecintaan sampean pada keluarga jangan sampai mengalahkan kecintaan sampean pada Allah. Namun yang lebih terpenting bagaimana sampean berupaya menjaga dan memelihara orang-orang yang sampean cintai itu agar selamat dari api neraka. Ku anfusikum wa’ahlikum naara. Karena itu ajak anak-anakmu memakmurkan masjid. Tidakkah orang-orang yang hatinya senantiasa terpaut pada masjid akan diselamatkan Allah di kiyamul akhir kelak?”

Mbah Santo terpekur. Sepertinya ia baru sadar bahwa dirinya telah terpedaya oleh kecintaan anak-anaknya yang terlalu berlebihan sehingga menghalanginya mendekatkan diri dengan Allah. Kekhawatiran anak-anaknya terhadap kesehatan dan keselamatan dirinya tidak perlu menjadi hambatan baginya berta’aruf dengan Sang Khaliq. Maka, sepeninggal teman-temannya, Mbah Santo kemudian berbicara dengan anak-anaknya. Dia meminta mereka tidak melarangnya pergi ke masjid untuk sholat fardlu berjamaah.

Namun permintaannya tidak disetujui anak-anaknya.

“Bapak ini sudah tua. Jangan menyusahkan diri sendiri. Kalau bapak harus bolak-balik ke masjid jalan kaki bisa-bisa bapak terjatuh atau tertabrak kendaraan. Kami tidak mengingingkan hal itu terjadi,” kata anaknya yang tertua.

“Tapi jalan ke masjid kan cuma seratus meter, Gus. Bapak masih cukup kuat berjalan. Nanti kalau bapak benar-benar sudah tidak bisa berjalan, mungkin bapak bisa mengalah sholat di rumah. Tapi bapak masih sehat,” sahut Mbah Santo meyakinkan.

“Apakah bapak menunggu terjatuh dan lumpuh dulu baru mau menuruti kata-kata kami. Lagi pula yang namanya sholat di rumah kan boleh. Amal ibadah bapak tetap diterima. Bukankah yang terpenting dalam beribadah adalah kekhusukan?” kata anak yang nomer dua berdalih.

“Memang, Nak. Namun pahala sholat berjamah lebih banyak ketimbang sholat munfaridz atau sendirian di rumah. Bapak sudah tua, tak lama lagi bakal menghadap-Nya. Jadi apalagi yang bapak perlukan selain menabung amal ibadah sebanyak-banyaknya untuk bekal di akherat kelak? Apalah artinya umur panjang dan tubuh sehat, bila kita tidak memiliki banyak amalan ibadah?”

“Kalau bapak masih bersikeras begitu, berarti bapak tidak menghargai kami lagi. Bapak tidak mau diopeni dengan baik. Jangan salahkan kami, kalau kami nanti tidak bisa sering menjenguk bapak, karena bapak sendiri susah diatur!” tandas anak ketiga terang-terangan mengancam.

Mbah Santo tercenung. Wajahnya dihiasi mendung. Ada rasa perih tertancap di batinnya mendengar ucapan anak-anaknya yang terkesan ingin mendikte hidupnya. Niat mereka ngopeni dirinya bukan muncul dari rasa cinta, namun lebih kepada perendahan derajat dirinya sebagai orangtua. Semestinya, jika mereka benar-benar mencintainya dan mengharapkan kebaikan pada dirinya, mereka memberikan kebebasan untuk memilih apa yang terbaik untuk hidupnya.

Apa yang ditawarkan dan diminta mereka, lebih sekadar menjaga harga diri dan gengsi mereka agar terlihat benar-benar ngopeni orangtuanya dengan baik. Padahal kenyataannya, mereka hanya membelenggu dan memenjara dirinya dalam keegoisan dan ketakaburan jiwa mereka.

Karena Mbah Santo tidak mau menuruti keinginan anak-anaknya, mereka pun jadi kecewa. Mereka bersepakat mempercepat acara pulang kampung dan segera kembali ke kota. Meski ada perasaan sedih ditinggal pergi anak-anak dan cucu-cucunya, namun Mbah Santo berusaha tegar dan tidak cengeng. Ia lalu kembali pada sahabat-sahabatnya di masjid. Di rumah Allah itu ia bisa menemukan kedamaian hidup yang sebenarnya! (*)
Tirtomoyo, Juni 2011

Jumat, 02 Desember 2011

Disabilitas dan Pandangan Masyarakat - Penyandang Disabilitas Jangan Dipandang Sebelah Mata


Oleh Eko Hartono

Disabilitas dan pandangan masyarakat merupakan isu penting yang perlu dibahas. Para penyandang disabilitas kerap menghadapi beban dan hambatan tersendiri. Terutama dalam hal bersosialisasi dan pengembangan diri. Para penyandang disabilitas sering dihinggapi perasaan inferior, minder, tidak percaya diri, dan tak berdaya. Kondisi ini diperparah lagi dengan penerimaan lingkungan terhadap kaum disabilitas yang terkesan masih sangat diskriminatif dan memandang sebelah mata.

Banyak masyarakat masih memandang kaum disabilitas sebagai individu yang lemah, invalid, terbatas, tidak produktif, dan bahkan ada yang menganggap parasit karena bergantung pada bantuan manusia yang berfisik normal. Pandangan semacam ini sudah saatnya dihilangkan. Pada kenyataannya; banyak kaum disabilitas yang mampu mencetak prestasi melebihi manusia normal. Hebatnya, prestasi itu diraih justru dengan daya upayanya sendiri di tengah kondisi keterbatasan dan kekurangannya.

Siapa tak kenal Thomas Alfa Edison, Alexander Graham Bell, Beethoven, Helen Keller, F.D Roosevelt, Stephen Hawking, Stevie Wonder, Marlee Matlin, Gola Gong, dan banyak lagi kaum disabilitas yang berhasil mencatatkan namanya sebagai sosok berprestasi sekaligus terkenal. Keberhasilan kaum disabilitas dalam bidang yang ditekuni menunjukkan bahwa tidak ada halangan dan kemustahilan bagi mereka dalam upaya mengembangkan potensi diri.

Pada dasarnya setiap manusia dilahirkan dengan membawa kekuatan sekaligus kelemahan dalam dirinya. Sejauh mana manusia mampu mengeksplorasi dan mengasah potensi dalam dirinya sehingga mampu melahirkan kelebihan atau prestasi, itulah yang kemudian membedakan. Sementara di sisi lain ia sebenarnya telah berhasil menutupi kelemahan atau kekurangannya. Sejatinya demikian yang terjadi pada kaum disabilitas. Mungkin yang dilihat orang hanya ada kekurangan dan kelemahan pada diri penyandang disabilitas. Tetapi di balik itu ia sebenarnya menyimpan bakat dan potensi yang luar biasa.

Selama ini masyarakat tidak banyak memberikan akses dan kesempatan luas bagi para kaum disabilitas untuk mengembangkan potensi dan menunjukan kemampuannya. Hal ini bukan hanya terjadi di lembaga pendidikan, tetapi juga di lembaga pemerintahan dan swasta. Dalam form lowongan kerja atau penerimaan calon siswa baru selalu tercantum frase berbunyi: sehat jasmani dan rohani. Istilah sehat jasmani dan rohani ini mengandung tendensi yang sangat diskriminatif bagi para penyandang disabilitas.

Banyak penyandang disabilitas yang terganjal oleh ketentuan di atas sehingga tak bisa diterima bekerja di instansi pemerintah, swasta, atau lembaga formal lainnya. Bahkan ketentuan yang sebenarnya bertentangan dengan UUD 1945, karena membatasi kebebasan bagi warga negara untuk mendapat perlakuan yang layak dan sama, akhirnya menjadi penghambat bagi pengembangan potensi kaum disabilitas. Ketentuan sehat jasmani dan rohani mungkin lebih pas diterapkan pada lowongan penerimaan calon kadet militer, karena hal itu lebih masuk akal!

Saya sendiri sebagai penyandang disabilitas merasakan efek psikologis besar saat berhadapan dengan ketentuan itu. Ketika kondisi fisik saya masih cukup normal pada usia kanak-kanak, saya sempat menempuh pendidikan formal umum hingga SMP. Namun saat fisik saya berubah lemah karena mengidap DMP (distrofia muskulorum progresinya), harapan untuk meneruskan jenjang SMA pun tertutup rapat. Saya dihinggapi perasaan minder dan tak yakin bakal bisa diterima, karena pada pengumuman penerimaan siswa baru SMA, tercantum ketentuan sehat jasmani dan rohani. Pada saat itu saya sudah mulai menggunakan kursi roda!

Peristiwa duapuluh lima tahun silam itu menjadi kenangan kelabu dalam hidup saya. Hati saya pun kerap sedih dan menangis setiap kali membaca berita tentang penyandang disabilitas yang tidak bisa diterima di suatu sekolah, universitas, dan kantor instansi, baik negeri atau swasta, dikarenakan ke-disabilitas-an mereka. Padahal untuk bersekolah unsur utama yang diperlukan pada diri seseorang adalah kemampuan berpikir alias otaknya. Selama penyandang disabilitas memiliki kemampuan otak untuk menyerap ilmu pengetahuan, semestinya tak ada halangan baginya untuk mengikuti kelas.

Mengenai kekurangan fisik mereka yang dikhawatirkan menjadi hambatan atau kendala masih bisa disiasati dan diatasi dengan alat bantu. Kaum tuna daksa masih bisa memakai kursi roda, tuna netra bisa menggunakan tongkat dan braile, tuna rungu menggunakan bahasa isyarat. Lembaga pendidikan sebagai pondasi utama pembangunan sumber daya manusia semestinya menyediakan fasilitas dan sarana bagi kaum disabilitas untuk mendapatkan pendidikan. Karena sebagaimana diamanatkan UUD 1945 bahwa pendidikan adalah hak seluruh warga negara tanpa ada pembedaan!

Begitu pun dalam hal memperoleh pekerjaan dan kehidupan yang layak. Semestinya tidak ada halangan dan hambatan bagi para penyandang disabilitas mendapat pekerjaan di kantor atau perusahaan selama mereka mampu menanganinya. Pekerjaan administrasi di belakang meja, misalnya, tentu bisa dilakukan kaum disabilitas selama dirinya memiliki kualifikasi dan kompetensi pada bidang tersebut. Sebab, tidak semua pencapaian prestasi kerja ditentukan oleh kerja fisik, tetapi lebih kepada otak. Tak sedikit kaum disabilitas yang berotak cerdas dan mampu berprestasi melampaui orang normal.

Tapi mungkin inilah hikmah dan berkah di balik segala hambatan dan kendala yang dihadapi para penyandang disabilitas. Mereka berupaya secara mandiri dan belajar secara autodidak, sehingga berhasil memberdayakan dirinya dan mencapai kesuksesan. Tak sedikit kaum disabilitas telah mampu menghidupi diri sendiri dan keluarganya, bahkan menciptakan lapangan kerja bagi orang lain, dengan kegiatan wirausaha yang ditekuninya tanpa bergantung bantuan pihak lain. Saya sendiri, meski tak terbilang penulis sukses, namun telah mampu menghidupi diri dan keluarga dari hasil menulis.

Justru orang-orang seperti kami ini bisa merasakan kepuasan yang lebih dibanding orang-orang normal pada umumnya, karena di balik segala kekurangan dan keterbatasan yang tersemat pada diri ini, kami berhasil mengatasinya dengan wujud nyata. Kami berhasil menaklukkan segala hambatan dan kesulitan yang dihadapi. Tapi ke depannya kami berharap ada kesempatan dan akses yang luas bagi warga negara Indonesia penyandang disabilitas di berbagai bidang. Kami tidak ingin pemerintah dan masyarakat pada umumnya memandang sebelah mata pada penyandang disabilitas. Peran lembaga pemerintah dan swasta dalam meningkatkan kemampuan penyandang disabilitas sangat diperlukan.

Lembaga-lembaga sosial yang sangat dekat dengan problematika sosial bisa ikut andil dalam pengembangan potensi dan peran kaum disabilitas, sehingga bisa memberi kontribusi bagi kemajuan bangsa. Seperti yang dilakukan oleh komunitas Kartunet.com dalam menampung dan menyalurkan aspirasi para penyandang kaum disabilitas. Banyak hal yang dilakukan oleh situs Kartunet.com, semisal mengadakan kontes-blogging-semi-seo-disabilitas-dan-pandangan-masyarakat-838. Juga memberikan info tentang kegiatan kaum disabilitas kn-news/info-disabilitas. Ada lagi forum silaturahmi para penyandang disabilitas training-trainer-tot-computer-bicara-882. Keberadaan situs kartunet.com benar-benar memberi kontribusi positif bagi para penyandang disabilitas.

Sudah tiba saatnya kaum disabilitas mendapat tempat layak di tengah masyarakat dan diperlakukan dengan sewajarnya tanpa ada diskriminasi lagi sehingga bisa menciptakan kehidupan yang lebih inklusif. Resolusi PBB 61/106 tentang Konvensi Mengenai Hak Asasi Penyandang Disabilitas atau Convention on The Rights of Person with Disability (CRPD) yang disahkan pada Sidang Umum PBB tanggal 13 Desember 2006, yang kini sedang dalam proses ratifikasi di Indonesia, akan menjadi angin segar bagi para penyandang disabilitas di tanah air. Karena dengan keikutsertaan Indonesia menandatangani konvensi tersebut akan membuka kesempatan luas bagi penyandang disabilitas mendapatkan hak-haknya dan bebas dari segala bentuk diskriminasi.

Pemerintah diharapkan membuat kebijakan yang mendukung kebutuhan dan hak bagi kaum disabilitas, diantaranya penyediaan fasilitas khusus bagi penyandang disabilitas dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam dunia pendidikan maupun dunia usaha juga harus membuka kesempatan dan akses yang luas bagi para penyandang disabilitas. Para penyandang disabilitas tak ingin dianggap sebagai makhluk parasit, tidak produktif, lemah, dan menjadi beban. Mereka pun bisa berbuat sesuatu untuk memberi kontribusi positif bagi pembangunan nasional. Mereka ingin hidup mandiri, bermartabat, dan berprestasi. Karena itu hargailah para penyandang disabilitas dan berikan kesempatan yang sama!