Minggu, 24 Januari 2021

Berbeda Tidak Harus Bersatu

 Oleh Eko Hartono

    Indonesia memiliki keragaman budaya, bahasa, suku, ras, dan agama. Tidak dipungkiri kemajemukan masyarakat Indonesia merupakan salah satu kekayaan hidup bangsa Indonesia. Namun demikian pluralitas yang dimiliki Indonesia juga menjadi persoalan yang sangat rentan dan mudah disulut api konflik. Terutama jika disinggung oleh isu SARA. Kita memiliki semboyan Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila sebagai perekat pemersatu bangsa. Sayangnya masyarakat mulai abai dan tidak begitu peduli lagi pada pondasi yang telah diletakkan oleh para founding father.

    Sudah 75 tahun Indonesia menikmati kemerdekaan. Namun konflik yang dipicu oleh isu SARA masih saja terjadi dan menjadi momok bagi kemerdekaan individu maupun kelompok masyarakat. Masih sering terjadi satu kelompok masyarakat atau golongan tertentu mempersekusi kelompok/golongan masyarakat lain hanya dikarenakan perbedaan pemahaman politik, suku, budaya, agama, dan keturunan. Tidak jarang akibat konflik yang dipicu masalah SARA menimbulkan korban jiwa, merusak tatanan sosial, dan menciptakan ketakutan di tengah masyarakat.

<script async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js?client=ca-pub-3878389979502699" crossorigin="anonymous"></script>

    Isu SARA memang menjadi senjata yang paling berbahaya. Masih terang di ingatan kita bagaimana isu SARA dalam dunia politik Indonesia. Saat diadakan Pemilihan Presiden dan/atau Pemilihan Kepala Daerah isu SARA dimainkan dengan tujuan untuk menjegal lawan politik. Padahal Indonesia menjunjung tinggi asas demokrasi dan kebebasan berpendapat atau memilih. Tapi pada kenyataannya, dengan dalih demokrasi dan kebebasan berpendapat, masih saja ada sekelompok atau segolongan masyarakat yang memaksakan kehendaknya dengan memainkan isu SARA. Mereka menyebarkan ujaran kebencian dan permusuhan kepada siapa saja yang dianggap berseberangan. Ini tentu saja sangat tidak sehat dan mencederai demokrasi.  

     Bukan hanya dalam dunia politik, isu SARA juga kerap dimainkan dalam kehidupan masyarakat secara umum. Belakangan ini isu SARA sering menghiasi pemberitaan di media massa dan media sosial. Menurut survei Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL) pada tahun 2019 menyebut sebanyak 88,4 Persen masyarakat Indonesia berbicara dengan topik SARA di medsos. Survei itu juga menyatakan masih tingginya angka berita bohong atau hoaks terkait SARA. Tentu ini sangat memprihatinkan dan menjadi masalah serius yang perlu segera ditangani. Isu SARA ibarat bom waktu yang bisa meledak kapan saja, jika kita membiarkannya dan bersikap apatis.

    Isu SARA bisa muncul disebabkan oleh banyak faktor. Masih adanya ketimpangan dan ketidakadilan sosial ekonomi dalam masyarakat, ketidakpuasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan baik di pusat maupun daerah, konflik kepentingan, adat tradisi, perbedaan pemahaman dan/atau keyakinan agama, maupun faktor lainnya. Tapi pada intinya, isu SARA bisa berkembang sedemikian rupa karena adanya pembiaran dan ketidakdewasaan masyarakat dalam menyikapi perbedaan. Sudah menjadi fitrah dari Tuhan, sebagaimana disebutkan dalam kitab suci, bahwa manusia diciptakan berbeda-beda. Namun justru perbedaan itu merupakan rahmat.

    Sayangnya, banyak manusia yang tidak memahami maksud dan tujuan Tuhan menciptakan perbedaan ini. Mereka tidak paham apa yang dimaksud sebagai rahmat. Kita terlalu sibuk memikirkan soal perbedaan dan berpikiran bagaimana bisa bersatu. Padahal tidak ada tuntutan untuk bersatu. Perbedaan itu keniscayaan dan persatuan itu juga bukan sebuah utopia. Persatuan bisa terjadi jika ada kesamaan pemahaman dan keyakinan. Jika memang berbeda kenapa harus dipaksa bersatu? Biarkan perbedaan itu tumbuh dan berkembang selama tidak melanggar norma, etika, dan hukum yang berlaku. Kita tidak bisa memaksakan kehendak dan keyakinan kita yang berbeda kepada orang lain.

<script async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js?client=ca-pub-3878389979502699"

     crossorigin="anonymous"></script>

       Lalu siapa yang bisa mengatasi jika terjadi konflik akibat isu SARA? Jawabannya adalah kita semua. Baik institusi, kelompok, golongan, dan individu dalam masyarakat punya kekuatan untuk meredam dan mengatasi isu SARA. Negara dalam hal ini pemerintah harus memiliki ketegasan dalam menindak pelaku yang menghembuskan isu SARA dengan tujuan mengintimidasi atau menyebarkan ujaran kebencian. Dengan seperangkat aturan dan undang-undang yang berlaku penegak hukum bisa menangkap dan menghukum pelaku kejahatan SARA. Sementara masyarakat baik individu dan kelompok sebaiknya ikut berperan aktif dalam meredam dan mengeliminir isu SARA.

      Kita tumbuhkan nilai-nilai egaliter dan toleransi di tengah masyarakat. Kita ajarkan anak-anak kita budaya saling menghormati dan menghargai sesama. Jangan mudah terpancing isu SARA dan jangan menjadi bagian dari penyebar hoaks. Jadilah warga masyarakat yang berpikiran dewasa dan bijak dalam bertindak. Bersikap kritis dan bersilang pendapat dibolehkan selama tidak disertai dengan kebencian dan permusuhan. Kita adalah masyarakat plural. Kita hidup dalam kemajemukan dan perbedaan. Buang jauh arogansi dan superioritas kelompok. Kita jadikan perbedaan sebagai kekuatan yang konstruktif dengan tujuan untuk menyelaraskan dan menyeimbangkan kehidupan. Karena pelangi tampak indah jika dihiasi warna-warna berbeda. Harmoni tercipta bukan karena kesatuan, tapi perbedaan yang saling menyatu dan melengkapi satu sama lain.

    Jadi jangan takut untuk berbeda, tapi juga jangan alergi untuk bersatu. Karena persatuan keniscayaan yang dibangun di atas perbedaan. (*)

Wonogiri, 23 Januari 2020