Senin, 30 Januari 2012

Dilema Arjuna

Cerpen ini dimuat di Seputar Indonesia, Minggu 29 Januari 2012

Langit padang Kurusetra siang itu terlihat gelap karena diselimuti awan hitam. Suasana tampak suram dan kelabu. Angin bertiup kencang. Mengibarkan panji-panji dan bendera pasukan yang berdiri di garis terdepan. Kulihat wajah mereka bergairah oleh gelora patriotisme yang membakar dada. Inilah saatnya pembuktian, siapa paling unggul diantara Pandawa dan Kurawa. Siapa paling berhak atas tahta Astina!

Aku berkeliling dengan kudaku untuk memeriksa kesiapan para prajurit Pandawa. Mereka terlihat sangat siap dengan segala perlengkapan perang tersandang di badan. Baju besi, tameng, pedang, panah, tombak, gada, kereta perang, bahkan belati terselip di pinggang. Sungguh, kali ini perang bukan sekadar permainan kata-kata di meja perundingan, tapi benar-benar akan dikobarkan.

Usai memeriksa kesiapan pasukan Pandawa, aku lalu melihat kesiapan pasukan Kurawa di seberang. Dengan alat teropong aku bisa menyaksikan perkemahan kaum Kurawa, ribuan prajurit Astina yang berdiri di garis terdepan. Aku juga bisa melihat para kesatria Kurawa, panglima perang mereka. Diantara mereka terlihat wajah-wajah yang tak asing lagi seperti guru besar Dorna, Kakek Bisma, Paman Sengkuni, Duryudana dan saudara-saudaranya. Mereka sejatinya adalah keluargaku juga.

Tiba-tiba hatiku diliputi rasa miris dan kelu. Kusadari bila perang besar ini bukan sekadar pembuktian antara salah dan benar, siapa paling unggul, tapi juga sebuah pembantaian. Pertumpahan darah antara keluarga, sanak saudara, kawan dekat, tetangga, kerabat, satu bangsa. Masih perlukah perang ini dikobarkan bila musuh yang dihadapi tak lain adalah saudara sendiri? Tegakah kami membunuh sanak kadang kami sendiri? Gugat suara dalam hatiku. Bulu kudukku tiba-tiba meremang diliputi perasaan tak karuan. Hatiku menjadi goyah.

Aku lalu bergegas menuju ke kemah Sri Kresna. Bisa kurasakan gemetar badanku saat berhadapan dengan titisan Wishnu itu.

“Wahai, suami Laksmi yang bijaksana. Tidakkah sebaiknya perang ini dihentikan sebelum jatuh korban?” cetusku gundah.

“Ada apa, Arjun? Kenapa tiba-tiba kamu meminta perang ini dihentikan? Apa yang terjadi padamu?” tanya Sri Kresna malah heran.

“Aku tak mau jatuh korban tak berdosa, Kakang. Kita berperang bukan melawan siapa-siapa tapi melawan keluarga sendiri. Aku tak sanggup melakukannya!”

“Kenapa hatimu tiba-tiba jadi lemah. Kamu jangan dikuasai rasa sentimentil. Mereka memang keluargamu, tapi menegakkan kebenaran tak mengenal keluarga atau teman. Jika ingin memperjuangkan kebenaran dan keadilan, tutuplah kedua mata dari segala pandangan. Pusatkan hati dan pikiran kepada inti kebenaran. Peperangan yang kita kobarkan kepada Kurawa bukan bertujuan memusnahkan mereka, tapi memusnahkan kejahatan yang ada dalam diri mereka!”

“Tapi, Kakang. Haruskah menegakkan kebenaran dilakukan dengan jalan perang? Di mana kita menempatkan perikemanusiaan yang berdasarkan pada cinta kasih…?”

“Bagaimana kalau perikemanusiaan dicederai? Apakah kita diam saja?”

“Maksud, Kakang?”

“Tindakan Duryudana dan saudara-saudaranya selama ini telah mencederai kemanusiaan. Mereka kerap berbuat kejahatan dengan menistakan dan merendahkan orang lain. Mereka banyak membunuh rakyat yang tak berdosa. Sebagai kesatria pembela kebenaran kita tidak bisa hanya diam menyaksikan kesewenang-wenangan mereka!”

“Aku bisa memahami bila yang kita lawan adalah Duryudana dan saudara-saudaranya yang suka berbuat kejahatan. Tapi bagaimana dengan Resi Bisma, Resi Dorna, dan para rakyat Astina yang tak berdosa? Sampai hatikah kita melawan mereka?”

Sri Kresna terdiam. Aku bisa membaca raut wajahnya yang diliputi kegalauan. Sebagai seorang waskita Sri Kresna banyak memberikan nasehat dan wejangan berharga kepada keluarga Pandawa. Dengan kearifan dan kebijaksanaannya pula dia mampu menjadi penengah dalam perseteruan antara Kurawa dan Pandawa. Dia yang mencetuskan bharatayuda sebagai jalan keadilan bagi penyelesaian pertikaian panjang diantara para pangeran Kuru.

Aku yakin, Sri Kresna bisa ikut merasakan dilema yang membelit hatiku. Apa pun alasannya perang hanya akan menimbulkan luka dan penderitaan. Aku berharap Sri Kresna bisa menyampaikan kepada para dewata untuk mencabut kutukan bharatayuda. Namun harapanku sepertinya sia-sia.

“Aku tahu perasaanmu, Arjun. Kamu sangat menghormati guru besarmu Dorna dan kakekmu Bisma. Mereka orang-orang yang kamu cintai. Tapi kamu semestinya tahu, mereka ikut berperang bukan untuk membela Kurawa. Mereka berperang membela kehormatan negara Astina. Mereka berperang bukan didasari oleh nafsu kekuasaan,” tutur Sri Kresna memberikan penjelasan.

“Tapi, Kakang. Keberadaan mereka di tengah pasukan Kurawa menimbulkan keragu-raguan dan kemasygulan dalam hati kami. Perasaan kami diliputi kebimbangan jika berhadapan dengan mereka!”

“Kesatria sejati tidak perlu ragu dan bimbang. Karena keraguan dan kebimbangan melemahkan jiwa. Kuatkan jiwamu untuk menghadapi perang ini. Darah yang tumpah dalam peperangan ini bukan darah kesia-siaan, tetapi darah kehormatan. Semua yang mati dalam peperangan ini pantas disebut pahlawan. Karena mereka berperang bukan hanya untuk menegakkan kehormatan keluarga, tapi juga kehormatan bangsanya!”

Aku tercenung mendengar ucapan Sri Kresna. Apa yang dikatakannya mengandung makna amat dalam. Selanjutnya Sri Kresna memberikan banyak wejangan kepadaku. Beliau menyenandungkan bhagawadgita (Nyanyian Orang Suci) yang merasuk begitu dalam ke relung kalbu. Hatiku dibuat tentram dan sejuk. Aku bisa menghayati makna kehidupan yang terkandung di dalam syair bhagawadgita. Jiwaku yang tadinya lemah kini menjadi lebih kuat. Aku siap menghadapi bharatayuda. Karena perang ini bukan untuk melampiaskan hawa nafsu melainkan menegakkan kebenaran dan keadilan.

Ketika menginjak hari ke sepuluh perang bharatayuda, hatiku kembali diliputi rasa bimbang dan ragu. Karena pada hari ini aku harus berhadapan dengan Kakek Bisma. Sungguh, ini bukan sesuatu yang mudah untuk dijalani. Terbayang kehidupan masa kecil saat kami masih tinggal di istana Astina. Kami berlima dalam pengasuhan kakek Bisma. Beliau seorang tua yang arif dan bijaksana. Beliau sangat menyayangi kami. Beliau tak membeda-bedakan kasih sayangnya kepada anak-anak Kurawa maupun Pandawa.

Tanpa terasa air mataku menetes membayangkan wajah Kakek Bisma. Meskipun sudah berumur, tapi beliau masih tampak gagah dan awet muda. Sebagai kesatria beliau sangat teguh memegang prinsip. Dalam diri beliau tak ada lagi hasrat dan nafsu kepada duniawi. Kehidupannya sepenuhnya diabdikan untuk kejayaan dan kehormatan Astina, negeri warisan leluhurnya. Beliau rela menjadi seorang wadad (tidak menikah seumur hidup) demi menjaga keutuhan dan kesatuan Astina.

Sungguh, perasaanku dibelit dilema yang luar biasa besarnya. Seluruh syaraf dalam tubuhku seperti lumpuh saat membayangkan diriku harus berhadapan dengan orang tua yang sangat aku cintai dan hormati. Di tengah gelombang kebimbangan ini aku lalu mencoba bersemedi, berkomunikasi dengan Sang Pencipta untuk meminta petunjuk. Aku ingin mencari kebenaran atas langkahku berhadapan dengan Kakek Bisma. Tiba-tiba aku seperti melihat jagat alam semesta terbentang di depan mataku.

Jiwaku seakan bisa menembus dimensi waktu. Aku menyaksikan semua kejadian yang pernah terjadi di muka bumi. Aku melihat kehidupan Bisma di waktu muda. Dalam sebuah peristiwa yang sangat dramatis Bisma mengacungkan anak panah ke arah Dewi Amba, perempuan yang mencintainya dengan setulus hati. Karena diliputi kebimbangan –antara memegang sumpah dan menuruti kata hati— tanpa sadar anak panah melesat menembus jantung wanita tak berdosa itu. Kulihat Bisma muda tergugu diliputi penyesalan amat dalam. Bisa kurasakan geletar perasaannya yang terluka!

Aku mengikuti perjalanan arwah Dewi Amba. Meski mati di tangan kekasih pujaan hati, namun dia merasa sangat bahagia. Dia mampu membuktikan ketulusan cintanya yang dalam. Dia berjanji akan setia menanti kekasih hatinya di alam nirwana. Sementara Bisma sepanjang hayatnya terus dihantui oleh bayang-bayang Dewi Amba. Meski sebelum meninggal Dewi Amba telah memaafkan kekhilafannya, namun Bisma tak pernah bisa memaafkan dirinya sendiri atas perbuatannya itu.

Tiba-tiba sebuah bisikan halus menyusup ke dalam sanubariku. “Wahai, titisan Sang Wishnu. Jemputlah kekasih hatiku Dewabrata. Penuhi kewajibanmu mengantarnya ke nirwana!”

“Aku tak sanggup, Dewi!” ucapku jujur.

“Baiklah, kalau begitu biar aku sendiri yang menjemputnya. Aku akan meminjam ragamu agar bisa bertemu kekasih hatiku!”

Sebuah keajaiban terjadi. Saat aku membuka mata, kulihat diriku sudah berubah wujud. Aku bukan lagi seorang laki-laki dengan kumis dan dada bidang berotot, melainkan telah menjelma sebagai perempuan. Namun aku bukan perempuan sembarangan. Dengan menyandang gendewa dan tabung panah di punggung aku tak ubahnya prajurit perang yang siap berlaga. Aku baru sadar inilah jalan keadilan yang diberikan dewata agar aku bisa menghadapi Kakek Bisma tanpa rasa segan. Aku tak akan dikenali kakek Bisma sebagai Arjuna, melainkan Srikandi!

Ya, namaku Srikandi…

Tanpa ragu lagi aku segera meluncur ke tengah medan laga. Kulihat kakek Bisma masih berdiri di atas keretanya. Semua serangan panah, tombak, dan pedang dari prajurit Indraprastha tak satupun mampu melumpuhkannya. Dengan cekatan aku segera mengeluarkan anak panah dari tabung yang berada di balik punggungku. Ribuan anak panah berhasil kusasarkan pada kakek Bisma dan menancap di sekujur tubuhnya. Tapi beliau masih terlihat tegar dan berdiri tegak. Beliau tampak kaget melihat kemunculanku!

“Siapa kamu?” tanyanya penuh keheranan.

“Namaku Srikandi!” jawabku tegas.

Untuk beberapa saat kakek Bisma memandangku dengan seksama. Perasaanku dibuat jengah. Aku khawatir dia mengenaliku. Tiba-tiba dari mulutnya meluncur sebuah kalimat pendek nyaris seperti gumaman, “Dewi Amba…?”

Aku tercekat. Aku teringat bisikan arwah Dewi Amba. Aneh, tiba-tiba bibirku seperti bicara sendiri tanpa kuperintah. “Ya, aku Dewi Amba! Aku datang untuk menjemputmu, Kakang Dewabrata!”

“Syukurlah, akhirnya engkau datang kekasihku!” Kedua tangan kakek Bisma membentang seperti hendak menyongsong kehadiran seseorang.

Aku melihat cahaya memancar di jantung kakek Bisma. Seperti ada yang menggerakkan, tiba-tiba tanganku mengangkat gendewa. Sebuah anak panah meluncur deras dan tepat mengenai jantung Kakek Bisma. Tubuhnya langsung roboh, tak bangkit lagi. Dia telah mengakhiri riwayatnya, dijemput kekasih tercinta menuju alam nirwana. Seperti tersadar dari mimpi buruk aku segera menghambur mendekap tubuh kakek Bisma. Menangisi kepergiannya. Langit padang Kurusetra seketika berubah menjelaga!

Tirtomoyo, Januari 2012

Sumber :
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/464423/