Kamis, 24 Mei 2012

Membangun Usaha Di Atas Kebersamaan

Seandainya saya CEO Group Bakrie :

Usia 70 tahun bukanlah usia yang muda. Ibarat sebuah pohon sudah menunjukkan kematangan dan kekokohannya. Mulai dari akar, batang, dahan, hingga rantingnya telah kuat. Semua unsur dari pohon itu pun telah mendatangkan kemanfaatan. Begitulah saya memberikan gambaran tentang kelompok usaha yang memasuki usia 70 tahun seperti Group Bakrie ini. Sebagai seorang CEO saya tentu sangat mengetahui kondisi dan situasi yang ada di dalam perusahaan yang saya pimpin ini!

Bukan hal mudah memimpin kelompok usaha sebesar dan setenar Group Bakrie ini. Dengan semua hal yang telah didapat dan dicapai, predikat sang pioner melekat pada perusahaan ini. Kapabilitas, kredibilitas, dan akuntabilitas dari perusahaan ini telah diakui oleh semua kalangan dengan telah mampu mencapai usia 70 tahun. Soliditas, integritas, dan loyalitas dari seluruh elemen yang berperan dalam menggerakkan roda bisnis Group Bakrie menjadi kunci utama. Kelebihan inilah yang senantiasa akan kami jadikan sebagai tagline perusahaan.

Merubah Paradigma

Sebagai kelompok usaha dengan nama besar dan mendunia, Group Bakrie telah menghasilkan banyak prestasi dalam beberapa bisnis yang digelutinya. Berbagai keuntungan dan penghargaan telah didapat oleh Group Bakrie melalui lini-lini perusahaan yang dijalankan. Tapi tidak bisa dipungkiri bila beberapa sisi kekurangan dan kelemahan masih menghiasi. Semisal tentang komunikasi sosial dan nama Bakrie yang selalu dikaitkan dengan persoalan politik atau musibah lumpur Lapindo di Sidoharjo, Jawa Timur. Justru disinilah tantangan kami untuk senantiasa memperbaiki segala kelemahan dan kekurangan itu agar tercapai kesempurnaan.

Banyak isu di luar yang mengatakan bahwa Group Bakrie hanyalah sebuah mesin untuk memperkaya pundi-pundi keluarga Bakrie, bahkan ada yang beranggapan bisnis keluarga Bakrie sebagai kendaraan politik Aburizal Bakrie dalam menghadapi kompetisi suksesi pemimpin nasional 2015. Isu semacam ini bagi saya seperti dua sisi mata pedang. Di satu sisi bisa berdampak negatif karena bisa merusak citra dan kapabilitas perusahaan c.q keluarga Bakrie sebagai sasaran tembak, namun di sisi lain berdampak positif karena semakin mendongkrak nama keluarga Bakrie. Orang-orang jadi ingin tahu dan mengenal lebih dalam riwayat keluarga Bakrie!

Jika isu itu akan menjadi pendongkrak popularitas keluarga Bakrie, tentu saya sangat berterima kasih. Tapi bagi saya isu itu merupakan black campaign yang mesti di-counter secara arif dan bijak. Semua orang sah saja menganggap keluarga Bakrie menjadi semakin kaya raya berkat bisnis yang dijalankannya. Justru tesis ini menjadi indikator bahwa perusahaan milik keluarga Bakrie berkembang maju dan menguntungkan. Kemajuan dan keuntungan ini tentu saja tidak hanya berimbas pada surplus laba keluarga Bakrie sebagai pemilik saham, tetapi juga pada kesejahteraan karyawan karena income mereka juga meningkat. Kehidupan keluarga para karyawan semakin terjamin!

Mengenai isu bahwa kelompok usaha Group Bakrie hanya akan menjadi kendaraan politik Aburizal Bakrie, hal itu hanyalah isu murahan. Rakyat Indonesia sekarang sudah semakin cerdas dan bijak dalam memilih pemimpin. Mereka akan memilih pemimpin bukan sekadar berdasar popularitas dan latar sosial ekonominya, melainkan karena kapasitas individu dengan ukuran-ukuran kualitatif sebagai pemimpin. Bahwa Aburizal Bakrie ada kaitannya dengan perusahaan keluarga Bakrie itu tak bisa dipungkiri, tapi antara ranah politik dan bisnis tak bisa dicampur aduk.

Di negara-negara yang sudah maju, pengusaha yang terjun ke dunia politik sangat banyak, dan itu sah saja. Justru pengalaman sebagai pemimpin perusahaan bisa menjadi referensi dan tolak ukur seberapa besar kemampuannya dalam memimpin. Karena memimpin perusahaan hakekatnya juga memimpin sebuah negara kecil, dimana seorang pemimpin perusahaan harus pandai memanaje perusahaan agar tercapai kemajuan dan kesejahteraan karyawan yang menjadi rakyatnya. Dan saya yakin, rakyat Indonesia lebih melihat sosok Aburizal Bakrie karena kapasitas pribadinya sebagai pemimpin yang telah teruji!

Menyadari bahwa isu yang berkembang di luar lebih banyak menyoroti keluarga Bakrie sebagai pemilik perusahaan, bukan pada prestasi dan keunggulan usaha yang dijalankan, maka saya akan berusaha merubah paradigma itu. Kelompok usaha Group Bakrie bukan sekadar perusahaan milik keluarga Bakrie, melainkan juga milik seluruh karyawan dan keluarganya yang ikut andil dalam menggerakkan roda bisnis Group Bakrie. Kelompok usaha Group Bakrie ini tak ubahnya sebuah rumah besar yang di dalamnya berlindung ratusan ribu jiwa keluarga karyawan. Dengan semangat sense of belonging saya mengharapkan para karyawan yang bernaung dalam kelompok usaha Group Bakrie merasa seperti satu keluarga besar.

Selain merubah paradigma kelompok usaha Group Bakrie identik keluarga Bakrie atau hanya menguntungkan keluarga Bakrie an sich, saya juga akan merubah paradigma kelompok usaha Group Bakrie bukan sekadar perusahaan yang berorientasi pada kapitalisasi modal (profitable), tetapi juga berwajah lingkungan dan kemanusiaan. Di mana-mana dunia bisnis kerap dicap sebagai aktivitas yang berwajah kotor dan tak berperikemanusiaan, karena lebih banyak memikirkan mengeruk keuntungan finansial. Mereka seakan tak peduli pada lingkungan dan sisi-sisi sosial kemanusiaan.

Ada anekdot yang mengatakan; perusahaan itu tak ubahnya makhluk yang kerjanya cuma makan dan menggemukkan badan, tapi giliran mengeluarkan kotoran dibuang seenaknya. Kesan bahwa perusahaan adalah makhluk yang rakus, eksploitatif, tidak bertanggung jawab, dan perusak lingkungan harus segera dihapus. Sebagai CEO Group Bakrie saya akan berusaha mengembangkan usaha-usaha yang kreatif, inovatif, bertekhnologi tinggi, tapi juga berwajah humanis dan berwawasan lingkungan. Mungkin kita bisa membuat motto baru; apa yang kita makan (gunakan) dan buang akan sama bermanfaat.

Memanfaatkan Peluang Dalam Industri Seni dan Hiburan

Dewasa ini banyak usaha yang tak bisa dilepaskan dari pemanfaatan kemajuan teknologi informasi, seperti internet dan perangkat-perangkat yang mendukung hal itu. Tentu ini sebuah peluang dan kesempatan yang tak bisa diabaikan begitu saja. Industri di bidang sarana tekhnologi informasi dan variasinya maupun produk turunan yang menjadi pendukung dalam aktivitas tersebut sangat besar sekali nilai keuntungannya. Penemuan-penemuan di bidang teknologi terbarukan akan lebih besar potensinya untuk dijadikan lahan bisnis. Karenanya divisi riset dan pengembangan akan lebih saya dayagunakan!

Selain peluang usaha di bidang IT, bidang usaha lain yang tak kalah besar potensinya adalah industri seni dan hiburan. Dengan jumlah penduduk Indonesia yang demikian besar (ke-5 dunia) dan tingkat kesejahteraan masyarakat yang makin meningkat, maka kebutuhan sekunder yang berhubungan dengan seni dan hiburan akan tumbuh pesat. Menurut Studi Kuntjoro (2008) penduduk Indonesia golongan menengah berjumlah 40 % dan golongan kaya raya 20 %. Dengan GDP US$ 13.000 atau di atas Rp. 120 juta pertahun sebanyak 20 % atau 47,6 juta penduduk Indonesia, dua kali lipat penduduk Malaysia. Dan setiap tahun diperkirakan dari golongan ini bertambah sekitar 10 %. Maka tak heran bila jalan raya kita macet karena dipenuhi mobil dan sepeda motor, bandara penuh dengan orang-orang bepergian, mal, pusat perbelanjaan, salon, bioskop, dan tempat-tempat hiburan ramai dikunjungi.

Karenanya industri kreatif dalam bidang seni dan hiburan seperti; film, musik, lagu, buku, pertelevisian, seni lukis, seni panggung, pariwisata, dan lain sebagainya sangat besar sekali potensinya untuk dikembangkan sekaligus menjadi lahan bisnis yang tak pernah kering. Konsumsi masyarakat atas produk/jasa di sektor ini akan terus meningkat. Mungkin Group Bakrie bisa bikin lini usaha baru dengan nama Bakrie Enterprise atau bikin studio besar macam MGM, 20 Century Fox, Paramount Picture’s, dan semacamnya seperti di Amerika. Atau membangun wahana hiburan macam Disney Land, Disney World, dan semacamnya dengan corak atau style beda. Intinya, bisnis yang berkaitan dengan bidang seni dan hiburan digarap sedemikian rupa hingga menghasilkan nilai tambah luar biasa.

Ancaman Dan Tantangan Dihadapi Dengan Kearifan

Dunia usaha tak pernah sepi dari intrik, persaingan, dan krisis. Semua itu bisa dianggap sebagai ancaman tapi juga tantangan. Selama kita tetap tenang dan berpikir positif, niscaya semua persoalan bisa diatasi. Sebagaimana sebuah pohon berusia 70 tahun yang kokoh dan tinggi menjulang, kita tentu sudah cukup berpengalaman dan punya resistensi terhadap badai persoalan. Kami tahu, para kompetitor berlomba-lomba berusaha menggeser kedudukan kami. Dinamika pasar yang fluktuatif dan unpredictable menjadi tantangan tidak ringan. Ancaman krisis ekonomi akibat perubahan peta politik dan kebijakan, baik secara nasional atau global juga harus selalu dicermati. Kesiapan dan antisipasi secara matang dan bijaksana merupakan solusi efektif dalam menghadapinya.

Sebagai CEO Group Bakrie posisi saya tentu berada di pucuk pohon. Sebuah kedudukan yang tidak ringan, karena terjangan angin dan badai akan lebih mudah mengombang-ambingkan, bahkan bisa mematahkannya. Tapi selama akar, batang, dan dahan yang mendukung dari bawah sangat kuat, niscaya semua itu akan mudah dihadapi. Sebagai pimpinan saya mesti memiliki keteguhan hati dan kejernihan dalam berpikir sehingga mampu mengatasi setiap persoalan yang muncul. Saya juga harus mampu menguatkan kepercayaan diri para karyawan dan relasi untuk senantiasa memelihara loyalitas maupun integritas. Sebagai nakhoda kapal saya mengemban amanah membawa seluruh penumpang ke dermaga tujuan dengan selamat dan sentosa!

Dengan posisi di pucuk pohon mengharuskan saya untuk meluaskan cakrawala pandang. Saya mesti tahu situasi dan kondisi yang sedang terjadi di luar. Mentransformasikan beberapa ilmu dan pengetahuan baru. Menginternalisasi nilai-nilai positif yang bermanfaat dan memberi nilai tambah bagi perusahaan. Serta tak lupa untuk selalu mendengar, membaca, merespon, dan berbagi (sharing) atas setiap persoalan yang muncul, karena sebagaimana yang saya kemukakan di atas, kelompok usaha Group Bakrie adalah sebuah rumah besar yang didiami sebuah keluarga besar pula. Kepala keluarga (baca; CEO) hakekatnya adalah pengemban amanah dan pelayan bagi seluruh anggota keluarga. Kemajuan dan keuntungan perusahaan bukan semata hasil kerja sang CEO, melainkan buah kerja keras seluruh elemen yang ada dalam perusahaan. Karena kami menjunjung tinggi kebersamaan, bukan perorangan atau golongan. Group Bakrie, milik kita bersama! (*)

Minggu, 20 Mei 2012

Sepatu Butut Mengajarkan Aku Arti Perjuangan Hidup

Pengalaman Pribadi :
Oleh Eko Hartono

Bicara soal sepatu, aku jadi ingat masa sekolah dulu. Pada tahun 1983, saat masih SMP, aku punya sepasang sepatu warna hitam. Tidak seperti Pak Dahlan Iskan yang dari SD, SMP, hingga SMA tak punya sepatu. Aku sendiri juga bukan dari keluarga berada, tapi bersyukur orang tua masih bisa membelikan sepatu. Namun tidak seperti anak zaman sekarang, setiap pergantian semester sudah ganti sepatu atau paling tidak setahun sekali. Aku hanya punya satu-satunya sepatu yang tak pernah ganti selama 3 tahun!

Bisa dibayangkan, bagaimana kondisi sepatu itu? Belum ada setahun dipakai, kondisinya sudah berubah. Warnanya yang hitam berubah kusam, alasnya menipis, kulit sepatu yang terbuat dari kain terburai jahitannya, bahkan pada ujungnya berlobang, memperlihatkan jempol kaki. Pernah karena talinya putus, terpaksa aku menggantinya dengan tali rafia! Agar warnanya tidak kusam, aku menggosoknya dengan arang sebagai pengganti semir!

Kenapa aku tetap bertahan memakai sepatu itu? Bukan karena aku mencintainya, tapi karena keadaan. Orang tua tidak mampu membelikan yang baru. Dalam hati aku sebenarnya pengen dibelikan yang baru, tapi apa mau dikata, aku mesti memahami keadaan orang tua. Aku masih punya tiga orang adik yang membutuhkan perhatian juga. Mau tak mau aku mesti ‘mencintai’ sepatu itu!

Karena sepatu itu setia menemaniku selama tiga tahun lamanya, sehingga ia sudah menjadi bagian dari hidupku. Keberadaannya tak bisa dipisahkan dari aktivitasku belajar di sekolah. Berbagai suka duka telah kulewati bersama sepatu itu. Tapi ada satu yang amat berkesan dan sampai sekarang terbayang dalam benakku. Saat kelas 2 SMP, guru Bahasa Indonesia meminta murid-murid menulis puisi dengan tema lingkungan sekitar.

Entah kenapa, secara spontan aku menuliskan perasaanku tentang sepatu itu. Sayang, aku kehilangan teks aslinya. Tapi aku masih ingat betul bagaimana isi puisi tersebut. Dengan bahasa yang jujur aku mengungkapkan keadaan sepatu itu. Aku tuliskan bahwa sepatu itu sudah butut, warnanya kusam, jempol kaki mengintip dari balik lubang, alasnya yang tipis seperti tak memakai sepatu sehingga menginjak kerikil pun terasa di kulit. Meski demikian aku menganggap sepatu itu pahlawan karena membantuku menuntut ilmu!

Tiba-tiba Pak Guru memintaku maju ke depan untuk membacakan puisi karyaku. Tentu saja aku jadi gugup dan tegang. Kupikir Pak Guru marah dan menganggap aku main-main menulis puisi yang isinya tidak puitis. Bahkan teman-temanku pada tertawa selesai aku membacakan puisiku. Mungkin mereka menganggap lucu isi puisiku. Tapi tidak demikian dengan Pak Guru. Beliau malah memujiku dan memberi nilai 10 atas puisi itu!

Pak Guru lalu menerangkan bahwa puisi yang baik adalah puisi yang ditulis dengan penuh penjiwaan atau penghayatan atas pengalaman hidup si penulis. Pak Guru memberi motivasi kepadaku agar memupuk kemampuanku dalam menulis, karena beliau melihat aku berbakat menjadi pengarang. Pujian dan dorongan semangat dari Pak Guru itulah yang secara tidak langsung ikut berperan dalam karirku kemudian hari di bidang kepenulisan.

Sudah duapuluh tahun lebih aku menekuni dunia kepenulisan, meski tidak tergolong penulis ternama, tapi setidaknya dari kegiatan menulis aku bisa hidup mandiri dan mampu menghidupi keluarga. Pengalamanku di masa lalu dengan sepatu butut itu secara tidak langsung ikut membentuk kepribadianku. Karena sepatu butut itu telah mengajarkan aku untuk menghargai nilai sebuah benda dan memahami arti perjuangan hidup! (*)

Sabtu, 19 Mei 2012

Perempuan Berselempang Parang

Oleh Eko Hartono
Cerpen ini dimuat di Kedaulatan Rakyat, Minggu, 13 Mei 2012

Ke mana pun pergi Lasmi selalu membawa parang yang diikat dengan sebuah tali dan diselempangkan pada badannya. Orang-orang menyebutnya perempuan berselempang parang. Tak ada yang tahu, kenapa ia selalu membawa senjata tajam itu ke mana-mana. Sampai ada yang berseloroh, saat tidur pun parang itu masih melekat di badannya.

Tapi bisa dimaklumi kenapa Lasmi selalu membawa parang. Mungkin untuk menjagai diri. Sejak suaminya mati secara misterius beberapa waktu lalu, tak ada lagi pelindung buat dirinya yang sebatang kara. Ayah ibunya telah lama tiada. Tak ada saudara dekat yang bisa dijadikan tempat bergantung. Sementara perkawinannya yang baru berjalan dua tahun belum berbuah anak.

Tak terperikan betapa sedih hati Lasmi. Ia harus tinggal sendirian di rumah kecil peninggalan suaminya. Hari-hari dijalani dalam suasana sepi yang memagut hati. Pernah datang seorang pamannya meminta dia untuk menikah lagi, biar ada yang mengayomi dan melindunginya, tapi Lasmi menggeleng tegas. Ia tak akan pernah menikah sebelum menemukan pembunuh suaminya.

Aih, ternyata dendam kesumat yang menyebabkan kabut perkabungan masih membayang di wajahnya dan merubah penampilannya. Lasmi tak terlihat lagi sebagai perempuan lemah. Ia tampak garang dengan sepasang sorot mata tajam, terlebih dengan sebilah parang terselempang di badan. Laki-laki mana pun ciut nyali mendekatinya. Mereka mesti berpikir seribu kali untuk menggodanya.

Masih terekam jelas dalam ingatan Lasmi, jasad suaminya dibawa ke hadapannya dalam keadaan berlumuran darah. Orang-orang bilang, Marno jatuh dari atas tebing saat memecah batu kapur. Tapi Lasmi tak percaya. Ia pernah mendengar keluh kesah suaminya beberapa hari sebelum kematiannya. Ada pengusaha bermodal besar berniat mengambil alih lahan milik penambang batu kapur tradisional. Sebagian penambang tradisional merelakan tanahnya dibeli. Hanya Marno yang masih ngotot mempertahankan lahannya.

Bukan kenapa, tapi karena harga ganti rugi yang ditawarkan tak seberapa. Lagi pula terpikir dalam benaknya, mau makan apa mereka jika mata pencahariaan satu-satunya dimatikan. Memang, warga dijanjikan akan dijadikan pekerja bila lahan itu telah dikelola perusahaan. Tapi Marno tak percaya pada janji itu!

“Mereka telah punya traktor dan mesin pengolah. Mereka tak memerlukan lagi tenaga manusia,” ucap Marno resah.

Marno bukan orang berpendidikan tinggi. Dia buta politik. Dia juga tak paham soal-soal bisnis dan perhitungannya. Tapi dia peka terhadap keadaan. Pengalaman hidup yang keras mengasah ketajaman insting dan nalurinya. Ia tahu, usaha pengambil alihan lahan milik warga menyalahi aturan. Upaya itu juga bisa memiskinkan warga sekitar yang sudah terlanjur miskin. Anehnya, kenapa pengusaha bermodal besar itu bisa mendapat ijin masuk ke wilayah mereka?

“Ini pasti ada permainan,” gumamnya seakan bicara pada diri sendiri.

“Sudahlah, Mas. Tidak usah terlalu dipikirkan. Yang penting mas sudah menolak!” tukas Lasmi menepis keresahan hati sang suami.

Sekarang Lasmi baru sadar, permainan apa yang dimaksud almarhum suaminya. Permainan orang-orang yang rakus dan tamak. Permainan orang-orang yang lebih mementingkan keuntungan pribadi dari pada kemaslahatan masyarakat. Permainan yang membawa Marno ke dalam pusaran tarik menarik kepentingan hingga berujung pada kematian. Marno bukan mati secara wajar, tapi sengaja dijadikan tumbal!

“Kamu jangan terlalu berpikiran jauh begitu, Las. Kamu jangan curiga berlebihan. Apa buktinya kalau Marno telah dibunuh?” ujar Hardi, teman dekat Marno, saat berkunjung ke rumah Lasmi untuk menengok keadaannya.

Tidak kepada sembarang orang Lasmi mau menumpahkan uneg-unegnya. Hardi sudah dianggap saudara dekat. Ketika Marno meninggal, Hardi dan istrinya kerap datang memberi pelipuran dan membesarkan hati Lasmi. Perasaan Lasmi terharu melihat kepedulian mereka. Maka, tak segan pula Lasmi mengungkapkan uneg-uneg dan keluh kesah hatinya. Tapi entah, ketika muncul niat Lasmi untuk mengusut kematian suaminya, Hardi menyatakan keberatannya.

“Mas Hardi kan tahu, Mas Marno tewas setelah ada persoalan dengan pengusaha besar itu. Apakah itu tidak mencurigakan?” cetus Lasmi.

“Itu hanya kebetulan saja. Kenyataannya, semua orang melihat kalau suamimu jatuh dari atas tebing. Tidak ada yang mendorongnya. Jadi itu murni kecelakaan, bukan kesengajaan!” bantah Hardi.

Lasmi menarik nafas panjang. Sepertinya percuma ia membahas soal ini dengan bekas sahabat almarhum suaminya itu karena selalu berseberangan. Dulu, saat suaminya masih hidup, dipikirnya kedua laki-laki ini bak pinang dibelah dua. Dalam segala hal mereka seia sekata, seiring sejalan, dan sehaluan sepandangan. Tak pernah terlihat mereka bersilang pendapat apalagi bertengkar. Rasa senasib sebagai penambang batu kapur mengikat jiwa mereka dalam persekutuan.

Namun entah, apakah waktu dan keadaan telah merubah segalanya. Lasmi tak hendak bersu’uzon, tapi gelagat Hardi memancing kecurigaan. Apalagi ketika akan berpamitan pulang, laki-laki itu sempat menitipkan pesan yang mengecutkan hati. “Kalau boleh aku bersaran, tanggalkan parangmu dan berperilakulah seperti perempuan normal. Usiamu masih muda dan masih panjang jalan yang akan kamu tempuh. Tak ada salahnya kamu menyetujui menjual lahan itu toh sudah tidak ada lagi yang mengerjakannya!” Lasmi melepas Hardi sampai di depan pintu.

Sepeda motor baru yang dikendarainya menderu menerbangkan debu-debu. Sepeda motor baru…? Ah, ternyata memang banyak yang berubah pada diri sahabat suaminya itu!

***

Malam ini Lasmi duduk di beranda rumahnya sambil memandang bintang-bintang di langit. Rusuh hatinya seperti tak bisa dibendung. Parang yang ada di pangkuannya baru saja ditajamkan dengan batu pengasah. Mata parang berkilau ditimpa cahaya lampu dari dalam rumah.

Siang tadi tanpa sengaja ia mendengar percakapan orang-orang di gardu pos ronda saat pulang dari ladang.
“Enakan Hardi sekarang, jadi kaki tangan pengusaha kaya itu. Baru sebulan bekerja dia sudah bisa membeli motor baru!”

“Ah, tapi dapat uang dari menjual teman sendiri, apa enaknya? Sama saja pengkhianat!”

“Apa maksudnya?”

“Apa kalian tidak tahu, Marno jatuh dari atas tebing setelah berselisih dengan Hardi. Karena Hardi berusaha merayu Marno untuk menjual lahannya. Mungkin karena pusing oleh pertengkaran itu, Marno jadi kehilangan keseimbangan dan akhirnya terjatuh!”

Lasmi tertegun mendengar bincang-bincang mereka.

Dan malam ini, ia telah mengasah parangnya. Ingin menyudahi dendam yang lama membara dalam dadanya. Ia akan menjemput Hardi di rumahnya dan mengantarnya menemui sahabatnya di alam baka. Biar parang ini sebagai kendaraannya! (*)