Kamis, 23 Desember 2010

BATHARI DURGA

Cerpen ini dimuat di harian Seputar Indonesia, 12 Desember 2010
Buka websitenya di: www.seputar-indonesia.com


Sebagai penguasa tribuwana, Bathara Guru memang sangat sempurna. Gagah, berwibawa, dan sakti mandraguna. Semua dewa tunduk padanya. Para dewi kahyangan pun berkeinginan menjadi permaisurinya, tak terkecuali Dewi Pramuni. Perempuan berparas ayu, kuning langsat, dan elok rupawan itu memiliki hasrat besar menjadi istri penguasa kaum dewa.

Dia lalu melakukan tapabrata di dalam sebuah goa. Berbagai gangguan dan cobaan datang menggoyahkan hatinya. Namun keteguhan jiwa perempuan muda itu sekuat baja. Dia berhasil melalui berbagai ujian yang datang. Hal ini mengusik hati Bathara Guru. Bersama dengan Bathara Kala dan Dewi Umayi, dia lalu mendatangi perempuan berparas ayu itu.

“Bangunlah, Dewi. Aku telah mendengar permohonanmu!” ujar Bathara Guru.

Dewi Pramuni membuka matanya. Hatinya bergetar saat mendapati orang yang dipujanya muncul di hadapannya.

“Saya, Bathara Guru!” ujar Dewi Pramuni dengan bibir merekahkan senyuman.

“Aku tahu, apa yang menjadi keinginanmu. Namun…?” Belum usai Bathara Guru bicara, Dewi Pramuni memotongnya.

“Namun kenapa, Kakang?” Wajah Dewi Pramuni mendadak berubah, seakan bisa membaca keraguan Bathara Guru.

“Secara lahiriah kamu memang cantik rupawan, Dewi. Namun aku tak membutuhkan kecantikan fisik saja sebagai syarat menjadi permaisuriku. Sebagai first lady atau perempuan nomer satu di Kahyangan engkau juga harus memiliki hati yang halus dan berbudi. Sementara kulihat hatimu dipenuhi nafsu dan angkara. Engkau tak pantas menjadi permaisuriku,” kata Bathara Guru.

“Tapi, Kakang…?”

“Maaf, Dewi. Aku tak bisa merubah pilihanku!”

Dewi Pramuni tertunduk sedih. Air mata berlinangan membasahi pipi. Sungguh, dia tak menyangka bila keinginannya telah ditolak Bathara Guru. Padahal dia telah mengorbankan segalanya untuk sang pujaan hati. Bahkan dia telah bersumpah tidak akan menikah bila tidak dengan Bathara Guru. Dia akan mengabdikan hidup sepenuhnya kepada laki-laki yang sangat dicintainya itu. Dia sudah serahkan jiwa raganya tanpa syarat lagi!

Namun ternyata dia harus menelan kecewa. Sia-sia pengorbanannya melakukan tapabrata dengan sepenuh hati.

“Begitukah sikap seorang penguasa menerima pengorbanan seorang hamba? Kenapa anda tega menghancurkan harapan saya, Kakang?” ujar Dewi Pramuni dengan nada pilu.

“Maksudmu apa, Dewi?” tukas Bathara Guru tak mengerti.

“Sudah menjadi semacam aturan tak tertulis sebuah doa atau permohonan akan dikabulkan bila telah melalui ujian. Saya sudah menjalankan ujian dengan sepenuh hati. Anda sendiri mengakui saya berhasil menjalani tapabrata tanpa cela. Namun kenapa anda menolak permohonan saya?”

Bathara Guru tertegun. Ucapan Dewi Pramuni menohok ulu kesadarannya. Sebagai penguasa pantang baginya mengingkari janji. Dia telah mengakui keteguhan hati Dewi Pramuni. Dia tak bisa mengelak dari tuntutan etis sebagai penguasa. Dia tidak mungkin menolak permohonan Dewi Pramuni. Jika dia mematahkan harapan perempuan itu sama halnya bertindak zalim. Reputasinya sebagai penguasa yang arif bijaksana akan hancur!

“Benar apa yang dikatakan Dewi Pramuni, Bathara Guru. Dia selayaknya mendapatkan apa yang menjadi keinginannya, sebab semua persyaratan untuk terkabulnya sebuah doa telah terpenuhi,” kata Dewi Umayi tiba-tiba.

“Saya sependapat dengan Yayi Dewi Umayi, Kakang Guru!” Bathara Kala tak ketinggalan urun rembug.

Bathara Guru memandang kepada kedua abdinya yang berwujud raksasa itu seksama. Kata-kata mereka semakin membimbangkan hatinya. Dia tak yakin ucapan mereka dipengaruhi oleh Dewi Pramuni, karena dia mengenal betul keduanya, terutama Dewi Umayi. Meskipun berwujud raksasa, namun hati perempuan itu bersih dari sifat-sifat tercela. Keburukan fisik tak menjadikannya buruk hati. Sungguh, andai Bathara Guru boleh memilih, ia lebih suka memilih Dewi Umayi sebagai permaisurinya. Namun aturan tak membolehkan penguasa Kahyangan beristrikan golongan raksasa.

Bathara Guru kemudian meminta waktu berembug dengan Bathara Kala dan Dewi Umayi.

“Bagaimana ini? Aku tak mau dianggap pemimpin yang tidak bijaksana. Aku harus memutuskan yang terbaik buat Dewi Pramuni dan buat diriku sendiri. Karena aku pun tak ingin kehilangan wibawa bila sampai salah memilih permaisuri,” ucap Bathara Guru dengan wajah gundah.

“Kenapa kakang harus bersusah hati. Saya tahu, kakang tidak suka pada sifat dan watak Dewi Pramuni. Tapi kakang seorang wasisa. Jika nanti kakang menikahi Dewi Pramuni, kakang bisa merubah sifatnya yang buruk. Bukankah tugas seorang suami memimpin dan membimbing istrinya. Saya yakin kakang mampu melakukan hal itu,” kata Bathara Kala meyakinkan.

“Benar, Kakang Bathara Guru. Dewi Pramuni sangat pantas mendampingi kakang. Wajahnya cantik rupawan, tak ada seorang pun dewi di Kahyangan ini mampu menandingi kecantikannya. Soal sifatnya yang buruk, kakang bisa berikhtiar merubahnya. Apa yang tidak bisa dilakukan oleh Bathara Guru yang sakti mandraguna!” cetus Dewi Umayi.

“Aku memang sakti mandraguna. Apa pun bisa kulakukan, bahkan memindahkan gunung. Tapi masalah watak dan sifat manusia itu sudah merupakan suratan, sudah bawaan dari lahir, tak bisa dirubah kecuali oleh orang itu sendiri. Jika dia tak punya kemauan untuk merubahnya, sangat mustahil untuk bisa berubah. Mungkin awal-awalnya Dewi Pramuni bisa merubah sifatnya, tapi siapa bisa menjamin kelak tidak akan kembali lagi?” tutur Bathara Guru.

Bathara Kala dan Dewi Umayi saling berpandangan. Mereka bisa memahami kekhawatiran Bathara Guru. Sebagai penguasa para dewa dan menjadi panutan serta teladan tentu tak boleh menyimpan cacat cela. Dia harus sempurna dalam segala segi, tak terkecuali dengan pendampingnya. Meski hanya berstatus permaisuri, namun kiprah dan perannya ikut menentukan nasib sebuah kerajaan. Sudah bukan rahasia lagi, banyak para suami jatuh wibawa dan kredibilitasnya karena ulah sang istri.

“Alangkah eloknya bila Dewi Pramuni memiliki sifat yang dipunyai Dewi Umayi. Dia akan menjadi perempuan paling sempurna. Cantik lahiriah sekaligus cantik batiniah,” ucap Bathara Guru setengah bergumam.

“Kakang Bathara Guru jangan terlalu berlebihan menyanjung saya. Dewi Pramuni juga perempuan yang baik,” tukas Dewi Umayi jengah.

“Mata batinku tak bisa dikelabui, Dewi…”

Dewi Umayi hanya terdiam. Meski dalam hatinya ada gelinjang rasa, namun ia mencoba meredamnya.

Tiba-tiba Bathara Kala berseru, “Saya punya sebuah gagasan, Kakang!”

“Apa itu?” tanya Bathara Guru penasaran.

“Bagaimana kalau jiwa Dewi Umayi dipindah ke raga Dewi Pramuni, begitu pun sebaliknya. Dengan begitu kakang masih bisa menikahi Dewi Pramuni namun dengan jiwa milik Dewi Umayi.”

Bathara Guru tertegun sejenak. Namun sejurus kemudian dia tersenyum dan mengangguk, sepertinya menyetujui gagasan Bathara Kala.

Bathara Guru kembali menemui Dewi Pramuni. Dia menyampaikan seperti apa yang menjadi gagasan Bathara Kala.

“Begini, Dewi Pramuni. Aku bersedia menjadikanmu permaisuri, namun aku meminta syarat agar jiwamu pindah ke dalam raga Dewi Umayi, demikian sebaliknya. Aku ingin mengujimu, apakah dengan memiliki raga raksasa hatimu bisa berubah halus dan berbudi,” kata Bathara Guru.

Sejenak Dewi Pramuni tercenung. Dia tak menyangka masih akan menghadapi ujian baru. Meski hal ini agak berat, namun demi bisa tercapai apa yang menjadi keinginannya, mau tak mau Dewi Pramuni mengangguk.

“Baiklah, Kakang Bathara Guru. Saya sanggup menjalani ujian itu!” jawabnya dengan mantap.

“Jika nanti kamu berhasil melalui ujian ini, jiwamu akan kukembalikan lagi ke ragamu. Namun jika gagal, maka jiwamu selamanya akan manjing (menetap-pen) di dalam tubuh Dewi Umayi! Bagaimana? Kamu sanggup?” Bathara Guru mengulangi penegasannya.

Dewi Pramuni tak punya banyak pilihan. Dia mengangguk mantap. Selanjutnya, dengan kesaktiannya Bathara Guru berhasil memindah jiwa Dewi Pramuni ke dalam raga Dewi Umayi, begitu pun sebaliknya. Bathara Guru merasa sangat senang karena kini dia bisa mendapatkan sosok Dewi Pramuni yang sempurna lahir maupun batin. Kecantikan Dewi Pramuni diimbangi dengan keluhuran budi pekerti Dewi Umayi.

Sementara itu, jiwa Dewi Pramuni telah merasuk ke dalam tubuh raksasa bernama Dewi Umayi. Ada yang terasa mengganjal dan mengganggu perasaannya ketika harus memulai hidup baru sebagai golongan raksasa. Selama ini Dewi Pramuni terbiasa hidup berselimut sanjungan dan puja-puji. Ketika memandang ke cermin wajahnya berubah jelek, badannya besar, dan tidak nampak sama sekali kecantikan pada dirinya, jiwanya sangat terpukul dan shock bukan main.

Rasanya dia tak bisa menerima perubahan ini…

Tapi dia mencoba menahan rasa kecewa dan marah. Dia meyakinkan diri bahwa semua ini bagian dari ujian. Dia akan berusaha menjalani ujian ini dengan sekuatnya. Apa yang terjadi pada dirinya seperti menjungkirkan kehidupan seratus delapanpuluh derajat. Dari seseorang yang tadinya berada di puncak kepopuleran, kejayaan, dan kesuksesan, tiba-tiba harus jatuh pada titik paling nadir. Sungguh, ini bukan hal mudah untuk dilalui.

Dan kenyataannya kemudian… Dewi Pramuni tak mampu menghadapi ujian seberat ini. Dia tak sanggup menahan diri dari celaan, hinaan, dan cercaan orang-orang di sekitarnya. Dia tak mampu memikul beban sebagai makhluk yang dihinakan dan direndahkan. Dia pun curiga semua ini buah kelicikan Bathara Guru. Penguasa kahyangan itu tahu kalau dirinya tak mampu mengendalikan diri berhadapan dengan segala sesuatu yang tak berkenan dengan keinginan hatinya.

Sadar bahwa jiwanya akan terus manjing di dalam tubuh raksasa untuk selamanya, Dewi Pramuni pun bersumpah akan selalu memusuhi Bathara Guru. Dia sangat dendam dan membenci Bathara Guru. Dia lalu mengumpulkan para dhemit, genderuwo, setan, dan makhluk kasat mata lainnya untuk dijadikan anak buah. Dia mendirikan kerajaan sendiri di kahyangan dengan nama Krendayana atau Setra Gandamayit. Dia menasbihkan diri sebagai penguasa kegelapan. Orang-orang yang menjadi pengikutnya menyebut dirinya: Bathari Durga! (*)

Sabtu, 30 Oktober 2010

Profil Eko Hartono





EKO HARTONO. Lahir di Wonogiri, 16 Juni 1969. Menulis cerpen, puisi, artikel, drama, skenario, novelet, dan novel.Mulai aktif menulis sejak tahun 1988. Menulis cerpen, puisi, artikel, novelet, buku cerita anak, dan novel. Karyanya pernah termuat di beberapa media massa nasional maupun lokal diantaranya: Femina, Tabloid Nyata, Swadesi, Sinar Pagi Minggu, Simphoni, Ceria Remaja, Kartini, Swara Cantika, Kawanku, Aneka, Suara Karya, Nova, Kedaulatan Rakyat, Wawasan, Cempaka, Solopos, Alkisah, Talenta, Panjebar Semangat, Bobo, dan lain-lain.
Beberapa penghargaan yang pernah diraih antara lain :
1. Juara III Lomba Cipta Cerpen, Kelompok Peron, FKIP, UNS, Solo, 1993.
2. Pemenang Harapan Sayembara Novelet Majalah Kartini, Jakarta, 1996.
3. Juara II Penulisan Naskah Buku Cerita Keagamaan, judul: Anak-anak Hutan, Depag RI, Jakarta, 2000.
4. Juara II Nasional Penulisan Naskah Buku Cerita Keagamaan untuk siswa SMP/MTs, judul: Ukhuwah, Depag RI, Jakarta, 2002.
5. Pemenang Harapan Lomba Mengarang Dongeng Majalah Bobo, Jakarta, 2006.
6. Pemenang Harapan III Penulisan Naskah Cerita Anak, Dinas P & K Provinsi Jawa Tengah, Semarang, 2006.
7. Pemenang Harapan Lomba Mengarang Cerita Misteri Majalah Bobo, Jakarta, 2007.
8. Pemenang Harapan Lomba Mengarang Cerita Dongeng Majalah Bobo, Jakarta, 2007.
9. Juara III Penulisan Naskah Sandiwara Berbahasa Jawa & Indonesia, Dinas P & K, Provinsi Jawa Tengah, Semarang, 2007.
10. Pemenang Harapan V Lomba Cerkak dan Geguritan, HUT Yayasan Karmel ke-82, Malang, 2008.
11. Pemenang Harapan IV Lomba Menulis Cerpen Perhimpunan INTI DKI Jakarta, 2008.
12. Pemenang Harapan Lomba Penulisan Naskah Drama tingkat Jateng, Dinas P dan K, Provinsi Jateng, Semarang, 2008.
13. Naskah skenario Amin Ingin Bertemu Pak Menteri terpilih 10 naskah terbaik, Kementrian Ekonomi Kreatif, 2011

Buku-buku yang telah diterbitkan :
1. Anak-anak Rimba (novel anak), penerbit PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, Solo, 2005.
2. Misteri Bangunan Tua (novel anak), penerbit PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, Solo, 2005.
3. Lari Dari Rumah (novel anak), penerbit PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, Solo, 2005

4. Kumpulan Naskah Drama 2007, Diknas Prov. Jawa Tengah, 2007.
5. Antologi Cerpen (Menghapus Dendam Masa Lalu), Perhimpunan Inti DKI Jakarta, 2008.
6. Novel Cerpen Berdarah, Penerbit LeutikaPrio, Yogyakarta, 2011. 
7. Novel Semua Indah Pada Waktunya, Penerbit Rumah Oranye, Jakarta, 2014. 
8. Novel Biru Langit Cinta, Penerbit Zettu, Jakarta, 2014. 
9. Kumcer, Menanti Lelaki Dari Surga, Penerbit UNSA Press, 2015. 
10. Novel Di Ambang Kematian, Penerbit Elexmedia Komputindo, 2015

Karya Sinetron            : Lima buah karya synopsis FTV pernah diproduksi dan tayang di SCTV, yakni: Suparman Mencari Cinta, Gatotkaca Kebelet Cinta, Ganteng-ganteng Gokil, Mak Comblang, dan Biar Norak Tapi Hoki.
Melihat Indahnya Dunia, produksi RK23 Pictures, tayang di program Rahasia Tuhan, Trans7, dll.


Menikah pada tahun 1995. Istri bernama Parmi, asal Sidoharjo, Wonogiri. Memiliki anak laki-laki kembar yang lahir pada tanggal 6 Oktober 1996 bernama Abdurrahman Arif Wicaksono dan Abdurrahim Budiman Wicaksono. Tinggal di sebuah desa yang tenang dan damai dengan alamat RT.02/RW.04, Desa Banyakprodo, Kec. Tirtomoyo, Kab. Wonogiri, Jawa Tengah, 57672. NomorHP : 085229287745. email: eko_hartono69@yahoo.com

***