Rabu, 28 Desember 2011

Rumah Allah

Cerpen ini dimuat di Majalah Al Mar'ah
Edisi November 2011

Masjid ini makin sepi setelah ramadhan lewat. Barisan shaf tidak sepanjang dan sebanyak saat ramadhan. Bisa dihitung dengan jari tangan, siapa saja yang masih setia mengunjungi rumah Allah di kala azan dikumandangkan. Shalat fardlu yang semestinya wajib dilaksanakan oleh kaum laki-laki di masjid bukan lagi dianggap sebagai keharusan.

Padahal Rasulullah pernah bersabda barangsiapa yang tidak melaksanakan sholat jamaah di masjid suruh membakar rumahnya. Tapi siapa yang peduli pada seruan nabi? Orang-orang zaman sekarang lebih peduli pada sabda setan. Lihatlah, berhala-berhala duniawi telah merasuk ke dalam jiwa manusia, membuat mereka lalai dan lupa. Kesibukan dunia telah menyesatkan mereka kepada jalan kebenaran yang harus ditempuh.

Di masjid ini tinggal para orangtua yang mengisi barisan shaf. Para orangtua yang sudah sepuh-sepuh itu pun seakan menjadi perlambang dekatnya dengan kematian. Maka, tidak menjadi aneh bila mereka lebih banyak menghabiskan waktu berserah diri kepada Tuhan. Mereka menyadari banyaknya dosa telah diperbuat sepanjang usia yang dijalani. Namun tidak semua orang yang sudah tua tergerak hatinya untuk mengingat Allah. Masih banyak orang-orang tua tenggelam dalam kesibukan dunia.

Mbah Raji, Mbah Sutino, Mbah Bayan, dan Mbah Santo masih tercatat sebagai pengunjung setia masjid ini. Sebelumnya ada Mbah Marto yang telah mendahului pergi dua minggu lalu. Penyakit stroke telah menghantar Mbah Marto ke pangkuan-Nya. Mungkin tak lama lagi, satu persatu dari mereka menyusul. Tapi bagi mereka kematian itu sudah menjadi kepastian yang tak bisa diingkari. Mereka malah rindu datangnya kematian. Karena hal itu berarti perjumpaan dengan Sang Khalik yang mereka cintai!

Maka, jika ada salah seorang dari empat sekawan itu tak kelihatan datang ke masjid, hati mereka gundah dan bertanya-tanya. Mereka khawatir jangan-jangan si kawan telah hilang kesabaran dan keistiqomahannya sehingga lupa akan kewajibannya berta’aruf dengan Dzat Tertinggi. Mungkin dia telah berputus-asa tidak akan mendapat rahmat dari Tuhan-nya. Atau mungkin dia dianugerahi sakit sehingga tak mampu pergi ke masjid? Rasa cemburu mereka menjadi membara.

Meski menganiaya diri sendiri dilarang agama, mengharap kepada takdir buruk seperti kematian juga tidak diperbolehkan, namun sebuah kerinduan dalam yang tak mampu ditahan bila mereka ingin segera bertemu dengan Allah yang dicintai. Maka, hanya melalui jalan sakit lalu disusul kematian mereka bisa mewujudkan keinginan itu. Namun demikian bukan berarti mereka lalu berupaya atau mencari jalan sendiri agar sakit dan kematian itu datang. Hal itu amatlah berdosa. Mereka tetap mengharapkan kebaikan pada hidup mereka di dunia.
“Mbah Santo ke mana? Ada yang tahu kenapa dia tidak datang sholat berjamaah di masjid?” tanya Mbah Raji usai sholat Maghrib kepada kedua rekannya.

Mbah Bayan dan Mbah Sutino saling pandang. Mereka menggeleng lesu.

“Tadi waktu asar dia masih ikut sholat dengan kita,” kata Mbah Bayan.

“Mungkin dia sakit?” cetus Mbah Sutino.

“Sakit apa? Tadi sore dia masih sehat. Badannya kelihatan bugar?” tukas Mbah Raji.

“Dia pernah mengeluh lambungnya sakit. Mungkin maagnya kambuh.”

“Kalau cuma maag kambuh apa sampai membuatnya lumpuh tidak bisa berjalan ke masjid?”

“Aku dengar anak-anaknya tiba dari kota…?”

“Kalau anak-anaknya datang, itu bukan halangan dia datang ke masjid.”

“Dia terlalu asyik bercengkerama dengan anak dan cucunya, sehingga lupa atau tidak mendengar seruan azan?”

“Bohong kalau dia tidak mendengar seruan azan. Loudspeaker masjid ini bisa menjangkau ke kampung sebelah. Rumah Mbah Santo hanya berjarak seratus meter dari masjid. Jika dia tidak melihat jam seharusnya dia tahu bila waktu maghrib saat matahari tenggelam dan suasana langit remang-remang!”

“Kita tidak boleh bersu’uzon dulu, sebaiknya kita sambangi dia. Siapa tahu, dia benar-benar sakit?”

Mereka sepakat akan mengunjungi Mbah Santo di rumahnya. Mereka khawatir telah terjadi sesuatu pada laki-laki tua itu.

Ketika mereka tiba di rumah Mbah Santo terlihat suasana semarak di dalam. Ternyata anak-anak dan cucu Mbah Santo sedang berkumpul. Entah, ada acara apa mereka tiba-tiba bersamaan mengunjungi sang ayah. Padahal Mbah Santo sering mengeluh, semua anaknya yang sudah berumahtangga dan tinggal di kota jarang menengoknya sekalipun lebaran. Mbah Santo rindu bisa bertemu anak-anak dan cucu. Apalagi setelah istri yang setia mendampingi selama tigapuluh tahun telah lama berpulang.

Doa dan harapan Mbah Santo terkabul. Keempat anaknya bersama keluarga masing-masing datang mengunjunginya. Meski kedatangan mereka tidak pas hari idul fitri, namun cukup membuatnya bahagia. Mungkinkah karena terlalu larut dalam kesenangan berkumpul bersama anak dan cucu tercinta sehingga ia lalai ke masjid? Ternyata tidak! Ketika sahabat-sahabatnya datang, mBah Santo menyambut mereka dengan wajah tampak muram dan tidak bersemangat.

“Kenapa sampean tidak datang lagi ke masjid, Mbah? Apa sampean terlalu asyik bercengkerama dengan cucu-cucu tercinta?” tanya Mbah Raji.

“Bukan itu sebabnya, Mbah Raji. Aku tak bisa datang ke masjid, karena anak-anakku melarang,” jawab Mbah Santo dengan lesu.

“Mengapa anak-anakmu melarang?” tanya Mbah Bayan tak mengerti.

“Mereka khawatir nanti encokku kumat lagi. Aku bisa jatuh di jalan bila pergi ke masjid. Mereka menyuruh aku sholat di rumah saja. Aku dianggap sudah sangat tua dan harus banyak beristirahat. Mereka tidak ingin terjadi apa-apa pada diriku…”

“Segala urusan ada di tangan Allah. Apakah sampean berpikir, jika berada di rumah hidup sampean akan selamat? Tidakkah sampean berpikir, berapa besar pahala yang bisa sampean dapatkan bila sholat berjamaah di masjid? Yang lebih dibutuhkan sampean sebenarnya keselamatan di akherat, bukan keselamatan di dunia. Kehidupan dunia fana jangan dijadikan gantungan!” tegas Mbah Sutino.

“Hal ini sebenarnya muncul dari rasa kecintaan mereka kepadaku. Mereka masih mengharapkan aku tetap sehat dan terjaga di usia tua ini. Mereka ingin aku bisa panjang umur dan tidak sakit-sakitan. Mereka menyesal telah lama mengabaikan aku. Mereka baru menyadari kalau orangtua yang tinggal satu-satunya ini mesti dijaga dan dirawat dengan baik. Kesadaran mereka itulah yang membuatku merasa terharu. Aku tak ingin mengecewakan mereka…”

“Kecintaan sampean pada keluarga jangan sampai mengalahkan kecintaan sampean pada Allah. Namun yang lebih terpenting bagaimana sampean berupaya menjaga dan memelihara orang-orang yang sampean cintai itu agar selamat dari api neraka. Ku anfusikum wa’ahlikum naara. Karena itu ajak anak-anakmu memakmurkan masjid. Tidakkah orang-orang yang hatinya senantiasa terpaut pada masjid akan diselamatkan Allah di kiyamul akhir kelak?”

Mbah Santo terpekur. Sepertinya ia baru sadar bahwa dirinya telah terpedaya oleh kecintaan anak-anaknya yang terlalu berlebihan sehingga menghalanginya mendekatkan diri dengan Allah. Kekhawatiran anak-anaknya terhadap kesehatan dan keselamatan dirinya tidak perlu menjadi hambatan baginya berta’aruf dengan Sang Khaliq. Maka, sepeninggal teman-temannya, Mbah Santo kemudian berbicara dengan anak-anaknya. Dia meminta mereka tidak melarangnya pergi ke masjid untuk sholat fardlu berjamaah.

Namun permintaannya tidak disetujui anak-anaknya.

“Bapak ini sudah tua. Jangan menyusahkan diri sendiri. Kalau bapak harus bolak-balik ke masjid jalan kaki bisa-bisa bapak terjatuh atau tertabrak kendaraan. Kami tidak mengingingkan hal itu terjadi,” kata anaknya yang tertua.

“Tapi jalan ke masjid kan cuma seratus meter, Gus. Bapak masih cukup kuat berjalan. Nanti kalau bapak benar-benar sudah tidak bisa berjalan, mungkin bapak bisa mengalah sholat di rumah. Tapi bapak masih sehat,” sahut Mbah Santo meyakinkan.

“Apakah bapak menunggu terjatuh dan lumpuh dulu baru mau menuruti kata-kata kami. Lagi pula yang namanya sholat di rumah kan boleh. Amal ibadah bapak tetap diterima. Bukankah yang terpenting dalam beribadah adalah kekhusukan?” kata anak yang nomer dua berdalih.

“Memang, Nak. Namun pahala sholat berjamah lebih banyak ketimbang sholat munfaridz atau sendirian di rumah. Bapak sudah tua, tak lama lagi bakal menghadap-Nya. Jadi apalagi yang bapak perlukan selain menabung amal ibadah sebanyak-banyaknya untuk bekal di akherat kelak? Apalah artinya umur panjang dan tubuh sehat, bila kita tidak memiliki banyak amalan ibadah?”

“Kalau bapak masih bersikeras begitu, berarti bapak tidak menghargai kami lagi. Bapak tidak mau diopeni dengan baik. Jangan salahkan kami, kalau kami nanti tidak bisa sering menjenguk bapak, karena bapak sendiri susah diatur!” tandas anak ketiga terang-terangan mengancam.

Mbah Santo tercenung. Wajahnya dihiasi mendung. Ada rasa perih tertancap di batinnya mendengar ucapan anak-anaknya yang terkesan ingin mendikte hidupnya. Niat mereka ngopeni dirinya bukan muncul dari rasa cinta, namun lebih kepada perendahan derajat dirinya sebagai orangtua. Semestinya, jika mereka benar-benar mencintainya dan mengharapkan kebaikan pada dirinya, mereka memberikan kebebasan untuk memilih apa yang terbaik untuk hidupnya.

Apa yang ditawarkan dan diminta mereka, lebih sekadar menjaga harga diri dan gengsi mereka agar terlihat benar-benar ngopeni orangtuanya dengan baik. Padahal kenyataannya, mereka hanya membelenggu dan memenjara dirinya dalam keegoisan dan ketakaburan jiwa mereka.

Karena Mbah Santo tidak mau menuruti keinginan anak-anaknya, mereka pun jadi kecewa. Mereka bersepakat mempercepat acara pulang kampung dan segera kembali ke kota. Meski ada perasaan sedih ditinggal pergi anak-anak dan cucu-cucunya, namun Mbah Santo berusaha tegar dan tidak cengeng. Ia lalu kembali pada sahabat-sahabatnya di masjid. Di rumah Allah itu ia bisa menemukan kedamaian hidup yang sebenarnya! (*)
Tirtomoyo, Juni 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar