Sabtu, 19 Mei 2012

Perempuan Berselempang Parang

Oleh Eko Hartono
Cerpen ini dimuat di Kedaulatan Rakyat, Minggu, 13 Mei 2012

Ke mana pun pergi Lasmi selalu membawa parang yang diikat dengan sebuah tali dan diselempangkan pada badannya. Orang-orang menyebutnya perempuan berselempang parang. Tak ada yang tahu, kenapa ia selalu membawa senjata tajam itu ke mana-mana. Sampai ada yang berseloroh, saat tidur pun parang itu masih melekat di badannya.

Tapi bisa dimaklumi kenapa Lasmi selalu membawa parang. Mungkin untuk menjagai diri. Sejak suaminya mati secara misterius beberapa waktu lalu, tak ada lagi pelindung buat dirinya yang sebatang kara. Ayah ibunya telah lama tiada. Tak ada saudara dekat yang bisa dijadikan tempat bergantung. Sementara perkawinannya yang baru berjalan dua tahun belum berbuah anak.

Tak terperikan betapa sedih hati Lasmi. Ia harus tinggal sendirian di rumah kecil peninggalan suaminya. Hari-hari dijalani dalam suasana sepi yang memagut hati. Pernah datang seorang pamannya meminta dia untuk menikah lagi, biar ada yang mengayomi dan melindunginya, tapi Lasmi menggeleng tegas. Ia tak akan pernah menikah sebelum menemukan pembunuh suaminya.

Aih, ternyata dendam kesumat yang menyebabkan kabut perkabungan masih membayang di wajahnya dan merubah penampilannya. Lasmi tak terlihat lagi sebagai perempuan lemah. Ia tampak garang dengan sepasang sorot mata tajam, terlebih dengan sebilah parang terselempang di badan. Laki-laki mana pun ciut nyali mendekatinya. Mereka mesti berpikir seribu kali untuk menggodanya.

Masih terekam jelas dalam ingatan Lasmi, jasad suaminya dibawa ke hadapannya dalam keadaan berlumuran darah. Orang-orang bilang, Marno jatuh dari atas tebing saat memecah batu kapur. Tapi Lasmi tak percaya. Ia pernah mendengar keluh kesah suaminya beberapa hari sebelum kematiannya. Ada pengusaha bermodal besar berniat mengambil alih lahan milik penambang batu kapur tradisional. Sebagian penambang tradisional merelakan tanahnya dibeli. Hanya Marno yang masih ngotot mempertahankan lahannya.

Bukan kenapa, tapi karena harga ganti rugi yang ditawarkan tak seberapa. Lagi pula terpikir dalam benaknya, mau makan apa mereka jika mata pencahariaan satu-satunya dimatikan. Memang, warga dijanjikan akan dijadikan pekerja bila lahan itu telah dikelola perusahaan. Tapi Marno tak percaya pada janji itu!

“Mereka telah punya traktor dan mesin pengolah. Mereka tak memerlukan lagi tenaga manusia,” ucap Marno resah.

Marno bukan orang berpendidikan tinggi. Dia buta politik. Dia juga tak paham soal-soal bisnis dan perhitungannya. Tapi dia peka terhadap keadaan. Pengalaman hidup yang keras mengasah ketajaman insting dan nalurinya. Ia tahu, usaha pengambil alihan lahan milik warga menyalahi aturan. Upaya itu juga bisa memiskinkan warga sekitar yang sudah terlanjur miskin. Anehnya, kenapa pengusaha bermodal besar itu bisa mendapat ijin masuk ke wilayah mereka?

“Ini pasti ada permainan,” gumamnya seakan bicara pada diri sendiri.

“Sudahlah, Mas. Tidak usah terlalu dipikirkan. Yang penting mas sudah menolak!” tukas Lasmi menepis keresahan hati sang suami.

Sekarang Lasmi baru sadar, permainan apa yang dimaksud almarhum suaminya. Permainan orang-orang yang rakus dan tamak. Permainan orang-orang yang lebih mementingkan keuntungan pribadi dari pada kemaslahatan masyarakat. Permainan yang membawa Marno ke dalam pusaran tarik menarik kepentingan hingga berujung pada kematian. Marno bukan mati secara wajar, tapi sengaja dijadikan tumbal!

“Kamu jangan terlalu berpikiran jauh begitu, Las. Kamu jangan curiga berlebihan. Apa buktinya kalau Marno telah dibunuh?” ujar Hardi, teman dekat Marno, saat berkunjung ke rumah Lasmi untuk menengok keadaannya.

Tidak kepada sembarang orang Lasmi mau menumpahkan uneg-unegnya. Hardi sudah dianggap saudara dekat. Ketika Marno meninggal, Hardi dan istrinya kerap datang memberi pelipuran dan membesarkan hati Lasmi. Perasaan Lasmi terharu melihat kepedulian mereka. Maka, tak segan pula Lasmi mengungkapkan uneg-uneg dan keluh kesah hatinya. Tapi entah, ketika muncul niat Lasmi untuk mengusut kematian suaminya, Hardi menyatakan keberatannya.

“Mas Hardi kan tahu, Mas Marno tewas setelah ada persoalan dengan pengusaha besar itu. Apakah itu tidak mencurigakan?” cetus Lasmi.

“Itu hanya kebetulan saja. Kenyataannya, semua orang melihat kalau suamimu jatuh dari atas tebing. Tidak ada yang mendorongnya. Jadi itu murni kecelakaan, bukan kesengajaan!” bantah Hardi.

Lasmi menarik nafas panjang. Sepertinya percuma ia membahas soal ini dengan bekas sahabat almarhum suaminya itu karena selalu berseberangan. Dulu, saat suaminya masih hidup, dipikirnya kedua laki-laki ini bak pinang dibelah dua. Dalam segala hal mereka seia sekata, seiring sejalan, dan sehaluan sepandangan. Tak pernah terlihat mereka bersilang pendapat apalagi bertengkar. Rasa senasib sebagai penambang batu kapur mengikat jiwa mereka dalam persekutuan.

Namun entah, apakah waktu dan keadaan telah merubah segalanya. Lasmi tak hendak bersu’uzon, tapi gelagat Hardi memancing kecurigaan. Apalagi ketika akan berpamitan pulang, laki-laki itu sempat menitipkan pesan yang mengecutkan hati. “Kalau boleh aku bersaran, tanggalkan parangmu dan berperilakulah seperti perempuan normal. Usiamu masih muda dan masih panjang jalan yang akan kamu tempuh. Tak ada salahnya kamu menyetujui menjual lahan itu toh sudah tidak ada lagi yang mengerjakannya!” Lasmi melepas Hardi sampai di depan pintu.

Sepeda motor baru yang dikendarainya menderu menerbangkan debu-debu. Sepeda motor baru…? Ah, ternyata memang banyak yang berubah pada diri sahabat suaminya itu!

***

Malam ini Lasmi duduk di beranda rumahnya sambil memandang bintang-bintang di langit. Rusuh hatinya seperti tak bisa dibendung. Parang yang ada di pangkuannya baru saja ditajamkan dengan batu pengasah. Mata parang berkilau ditimpa cahaya lampu dari dalam rumah.

Siang tadi tanpa sengaja ia mendengar percakapan orang-orang di gardu pos ronda saat pulang dari ladang.
“Enakan Hardi sekarang, jadi kaki tangan pengusaha kaya itu. Baru sebulan bekerja dia sudah bisa membeli motor baru!”

“Ah, tapi dapat uang dari menjual teman sendiri, apa enaknya? Sama saja pengkhianat!”

“Apa maksudnya?”

“Apa kalian tidak tahu, Marno jatuh dari atas tebing setelah berselisih dengan Hardi. Karena Hardi berusaha merayu Marno untuk menjual lahannya. Mungkin karena pusing oleh pertengkaran itu, Marno jadi kehilangan keseimbangan dan akhirnya terjatuh!”

Lasmi tertegun mendengar bincang-bincang mereka.

Dan malam ini, ia telah mengasah parangnya. Ingin menyudahi dendam yang lama membara dalam dadanya. Ia akan menjemput Hardi di rumahnya dan mengantarnya menemui sahabatnya di alam baka. Biar parang ini sebagai kendaraannya! (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar