Senin, 10 Juni 2013

Kemenangan Durgandini


repro wayang.wordpress.com



Cerpen ini dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat, Minggu 9 Juni 2013

            Sejenak suasana di ruangan itu berubah hening. Tak ada suara. Bahkan udara pun seakan berhenti mengalir. Durgandini bisa merasakan sesak dalam dadanya menahan gemuruh perasaan tak karuan. Ia sadar telah melakukan permainan berbahaya. Ia sedang berjudi dengan nasibnya.
            Masih jelas terngiang ucapan yang belum lama keluar dari bibirnya. Ia meminta syarat untuk dijadikan prameswari tanpa ada selir di sampingnya. Ia juga meminta hanya anak keturunannya yang berhak mewarisi tahta Astina. Syarat itu sebagai jawaban atas pinangan Prabu Sentanu.
            Mungkin orang akan bilang, siapa kamu Durgandini? Hanya seorang perempuan miskin. Bahkan statusmu bukan perawan lagi. Kamu sudah pernah bersuami dan memiliki seorang anak. Jika ada sesuatu pada dirimu yang bisa dibanggakan adalah kecantikan wajahmu dan harum tubuhmu!
            Itulah, Durgandini ingin memanfaatkan kelebihannya. Siapa laki-laki di dunia ini yang tak tertarik pada perempuan ayu dan wangi? Hanya laki-laki wandu yang tak bergetar hatinya melihat perempuan secantik Durgandini. Namun ada rasa bimbang membelit hati Durgandini mengingat Prabu Sentanu adalah seorang Raja di sebuah kerajaan besar. Laki-laki itu bisa mendapatkan seribu perempuan seperti dirinya.
            Tapi resi Dasabala, ayah angkatnya, menenangkan hatinya. Boleh ada seribu bahkan sejuta perempuan seperti Durgandini tapi tidak ada yang memiliki wahyu kedaton. Begitulah yang dikatakan resi Dasabala. Meski pernah mengalami nasib buruk dibuang oleh keluarganya dan terlunta-lunta hidupnya, tapi Durgandini diramalkan akan melahirkan raja-raja besar!
            Itulah yang membuat Durgandini merasa yakin dan percaya diri. Ia bakal bisa menaklukkan hati Prabu Sentanu, lebih dari itu membuatnya seperti kerbau dicocok hidungnya. Namun tetap saja ada rasa masygul membayangi hati Durgandini menyaksikan Prabu Sentanu diam untuk beberapa lama. Dia sepertinya sedang berpikir keras dan mempertimbangkan permintaan Durgandini.
            Kebekuan itu akhirnya mencair setelah Prabu Sentanu mengeluarkan suaranya.
            “Baiklah, Dewi Durgandini. Pada prinsipnya aku tak keberatan, tapi aku mesti berembug dulu dengan Dewabrata, putraku. Karena sebagai putra mahkota dia yang berhak menentukan,” kata sang Prabu.
            Setelah itu dia berpamitan pulang. Durgandini mengantarnya sampai di depan pintu. Ia menghembus napas panjang ketika bayangan laki-laki itu hilang di ujung jalan. Keresahan tiba-tiba menyergap hati Durgandini. Bagaimana kalau Dewabrata tak setuju dengan keinginan ayahnya? Bagaimana kalau putra mahkota itu menentang syarat yang diajukannya? Siapa sih, yang rela melepaskan kekuasaan dari tangannya?
            Durgandini tak bisa menyembunyikan keresahan ini di hadapan Dasabala. Tapi sekali lagi Dasabala berusaha meyakinkan hati putri angkatnya.
            “Tak usah cemas, Nduk! Dewabrata bukanlah laki-laki ambisius. Dia sangat berbakti kepada orang tuanya. Dia pasti akan menyetujui permintaan ayahnya. Dia tidak akan menentang!” Demikian tegas Dasabala.
            “Tapi bagaimana dengan Sang Prabu sendiri. Kudengar dia sangat menyayangi Dewabrata. Dia tentu tak ingin melukai hati putranya? Dia pasti akan berpikir ulang untuk meneruskan niatnya memperistriku?” cetus Durgandini masih galau.
            “Percayalah! Itu tidak akan terjadi. Aku sudah makan asam garam kehidupan. Aku hapal tabiat laki-laki. Ketika dia sudah memegang harta dan kekuasaan, maka akalnya akan berpindah ke bawah perutnya. Dia akan memburu kesenangan duniawi satunya, yakni perempuan! Dia tidak akan pernah melepaskanmu!”
            “Tapi, Bapa…?”
            “Sudahlah, Durgandini. Yakinlah pada bapa. Tali kendali kekuasaan kini ada di tanganmu. Sejatinya Prabu Sentanu bukan lagi seorang raja tapi hambamu. Manfaatkan sebaik-baiknya kesempatan ini!”
            Durgandini tercenung. Kata-kata ayahnya membesarkan hatinya.
            Apa yang dikatakan Dasabala benar. Tak berapa lama datang utusan dari kerajaan Astina menyampaikan pesan dari Sang Prabu. Mereka akan menjemput Durgandini karena Prabu Sentanu berkenan memenuhi syaratnya. Dewabrata bersedia menyetujui permintaannya. Hati Durgandini senang bukan main. Tapi ia tak serta merta menerima semua ini.
            Ia tahu, kendali kekuasaan kini ada di tangannya. Ia lalu mengatakan kepada sang utusan bahwa dirinya tidak akan datang ke istana Astina jika bukan Dewabrata sendiri yang datang menjemputnya. Durgandini juga meminta Dewabrata menjemputnya dengan kereta kencana. Ia ingin mendapat keyakinan bahwa Dewabrata benar-benar tulus dengan persetujuannya. Lebih dari itu, ini merupakan bentuk lain dari penaklukan.
            Akhirnya, sang utusan pulang. Beberapa hari kemudian Dewabrata datang dengan kereta kencana seperti yang diminta Durgandini. Sumringah membias di wajah perempuan itu. Perasaannya semakin dilambung ke awan. Dadanya sesak oleh rasa kebanggaan. Namun kehormatan itu ternyata tak cukup baginya. Ambisi yang meluap dalam dadanya membutakan mata hatinya.
            “Baiklah, Dewabrata. Aku terima persembahanmu. Namun aku masih punya satu syarat lagi yang harus kamu penuhi,” kata Durgandini dingin.
            “Apa itu, Dewi?” tanya Dewabrata.
            “Aku minta kamu menjadi wadag. Tidak akan menikah dengan perempuan mana pun seumur hidup. Bagaimana?”
            Dewabrata tertegun. Sejenak ia menatap perempuan di hadapannya dengan sorot tak mengerti. Entah, syetan apa merasuki jiwa perempuan ini sehingga dia mengajukan permintaan segila itu? Tapi Dewabrata segera menepis rasa ciut hatinya. Demi kebahagiaan orang tua yang dikasihinya dia rela melakukan apa saja. Tanpa ragu lagi dia pun menganggukkan kepala. Menyetujui permintaan Durgandini.
            Dan Durgandini pun tak bisa menahan lagi senyum kemenangannya! (*)

Tirtomoyo - Wonogiri
Mei 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar